Sabtu, 13 Mei 2017

MAKALAH : Pancasila Sebagai Suatu Sistem Filsafat

BAB I

PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang

Perjalanan Bangsa Indonesia dalam kanca perpolitikan dunia untuk mempertahankan keutuhan Bangsa agar tetap bersatu dalam menghadapi tantangan yang cukup berat. Dewasa ini Bangsa Indonesia tengah menghadapi masalah yang begitu rumit, di suatu sisi adanya kecendrungan kehidupan yang semakin global seolah dunia ini tanpa ada batas, sementara di sisi lain adanya realita dalam masyarakat, jiwa dan semangatnya mulai mengendor. Masyarakat kotak-kotak dalam label etnik, golongan, agama dan ras yang berpotensi menimbulkan konplik yang menuju perpecahan bangsa dan Negara kesatuan repoblik Indonesia.
Kesepakatan politis pancasila sebagai dasar Negara sudah final, namun dalam kenyataanya Bangsa Indonesia yang hidup dalam kancah percaturan idiologi besar dunia seperti idiologi Sosisalis, Fasis dan sebagainya, dimana idiologi tersebut menjadi pembanding idiologi pancasila. Mencermati hal tersebut pancasila sebagai suatu sistem, perlu dianalisi secara kritis sehinga menguatkan keyakinan bahwa nilai-nilai Ketuhanan, Kemanusiaan, Persatuan, Kerakyatan dan Keadilan unsur sangat penting bagi manusia.
Pada akhirnya diharapkan nilai-nilai tersebut meresap didalam segenap jiwa Bangsa Indonesia sebagai suatu yang penting bagi kehidupan berbangsa dan bernegara. Lebih jauh kita akan mempunyai kepercayaan diri dan keyakinan untuk memantapkan eksistensi denagn jati diri Pancasila sebagai idiologi nasional ditengah-tengah percaturan idiologi-idiologi internasional.

B.     Rumusan Masalah

1.      Mengidentifikasi Pengertian Filsafat.
2.      Mengidentifikasi Aliran-Aliran Filsafat.
3.      Mengidentifikasi Kesatuan Sila-Sila Pancasila Sebagai Suatu Sistem.
4.      Mengidentifikasi Kesatuan Pancasila.

C.     Tujuan Pembahasan

1.      Memberikan Pemahaman Pengertian Filsafat.
2.      Memberikan Pemahaman Aliran-Aliran Filsafat.
3.      Memberikan Pemahaman Kesatuan Sila-Sila Pancasila Sebagai Suatu Sistem.
4.      Memberikan Pemahaman Kesatuan Pancasila.








BAB II

PEMBAHASAN

A.    Pengertian Filsafat

Dari segi etimologis, sebelum dibahas pengertian filsafat secara material maka dipandang pelu untuk membahas terlabih dahulu makna dan arti istilah “filsafat”. Pada umumnya para filsuf maupun para ahli filsafat mempunyai tinjauan ang senada dalam pengertian istilah filsafat, walaupun secara harafiah mempunyai perdebatan istilah “filsafat” dalam bahasa indonesia mempunyai padanan “falsafah”  dalam kata arab. Sedangkan menurut kata inggris “philosophy” kata latin “philosophia” kata belanda “philosophie”, kata jerman “philosophier”, kata pperancis “philosophie”,yang kesemuanya itu diterjemaahkan dalam kata indonesia “filsafat”. “philosophia” ini adalah kata benda yang merupakan hasil dari kegiatan “philosophien” sebagai kata kerjanya. Sedangkan kegiatan ini dilakukan oleh philosophos atau filsuf sebagai subyek yang berfilsafat. Menurut harun nasution, istilah “falsafah” berasal dari kata yunani “philein” dan kata ini mengandung arti “cinta” dan “sophos” dalam arti hikmah.

Istilah “filsafat” berasal dari bahasa yunani bangsa yunanilah yang mula-mula berfilsafat seperti lazimnya dipahami orang sampai sekarang. Kata ini bersifat majemuk, berasal dati kata “philos” yang berarti sahabat dan bahasa belanda, atau wisdom kata inggris, dan hikmat menurut kata arab. Maka philosophia menurut arti katanya berarti cinta pada pengetahuan yang bijaksana, Oleh karena itu mengyahakannya. Jadi tterdapat sedikit perbedaan arti, disatu pihak menyatakan bahwa filsafat merupakan bentuk majemuk dari “philein” dan “sophos”, (Nasution,1973) dilain pihak filsafat dinyatakan dalam bentukmajemuk dari “philos” dan “sophia” (Gazalba,1997), namun secara semantis mengandung makna yang sama. 

Dengan demikian istilah “filsafat” dan “sophos” mengandung arti, mmencintai hal-hal yang sifatnya bijaksana, sedangkan “filsafat” yang merupakan bentuk majemuk dari “philos” dan “sophia” berkonotasi teman dari kebijaksanaan.

Sementara ahli ada yang menyatakan bahwa “sophia” arti yang lebih luas dari kebijaksanaan. Arti “sophia” meliputi pula kerajinan (creftsmanship) sampai kebenaran pertama (first truth), “sophia” kadang-kadang juga mengandung makna pengetahuan yang luas (wide knowledge), kebijaksanaan (intelectual virtues). Petimbangan yang sehat (sound judgement), kecerdikan dalam memutuskan dalam hal-hal yang praktis (shiwdness in practical decision).
Berikut ini disajikan pengertian filsafat menurut beberapa ahli;
Plato ( 428 -348 SM ) : Filsafat tidak lain dari pengetahuan tentang segala yang ada.
Aristoteles ( (384 – 322 SM) : Bahwa kewajiban filsafat adalah menyelidiki sebab dan asas segala benda. Dengan demikian filsafat bersifat ilmu umum sekali. Tugas penyelidikan tentang sebab telah dibagi sekarang oleh filsafat dengan ilmu.
Cicero ( (106 – 43 SM ) : filsafat adalah sebagai “ibu dari semua seni“ ( the mother of all the arts“ ia juga mendefinisikan filsafat sebagai ars vitae (seni kehidupan )
Johann Gotlich Fickte (1762-1814 ) : filsafat sebagai Wissenschaftslehre (ilmu dari ilmu-ilmu, yakni ilmu umum, yang jadi dasar segala ilmu. Ilmu membicarakan sesuatu bidang atau jenis kenyataan. Filsafat memperkatakan seluruh bidang dan seluruh jenis ilmu mencari kebenaran dari seluruh kenyataan.
Paul Nartorp (1854 – 1924 ) : filsafat sebagai Grunwissenschat (ilmu dasar hendak menentukan kesatuan pengetahuan manusia dengan menunjukan dasar akhir yang sama, yang memikul sekaliannya .
Imanuel Kant ( 1724 – 1804 ) : Filsafat adalah ilmu pengetahuan yang menjadi pokok dan pangkal dari segala pengetahuan yang didalamnya tercakup empat persoalan.
Jadi, istilah filsafat pada mulanya merupakan suatu istilah yang secara umum dipergunakan untuk menyebutan usaha kearah keutamaan mental.Dari semua pengertian filsafat secara terminologis di atas, dapat ditegaskan bahwa filsafat adalah ilmu pengetahuan yang menyelidiki dan memikirkan segala sesuatunya secara mendalam dan sungguh-sungguh, serta radikal sehingga mencapai hakikat segala situasi tersebut.[1]

B.     Ciri-ciri Berfikir Secara Filsafat

Adapun ciri-ciri berpikir secara filsafat ialah sebagai berikut ;

1.      Berpikir secara menyeluruh. Artinya, Pemikiran yang luas karena tidak membatasi diri dan bukan hanya ditinjau dari satu sudut pandang tertentu. Pemikiran kefilsafatan ingin mengetahui hubungan antara ilmu yang satu dengan ilmu-ilmu yang lain, hubungan ilmu dan moral, seni dan tujuan hidup. Contoh: ketika kita mempelajari tentang Karma Phala (hasil perbuatan) didalamnya pasti terdapat perbuatan baik dan buruk kemudian untuk mengetahui hasilnya dilakukan perbandingan dengan angka (misalnya; perbuatan baik 75% dan buruk 25%). Jika seseorang hanya memandang dari satu sudut pandang saja,  Karma Phala selalu dikaitkan dengan Agama saja, akan tetapi jika dipandang secara menyeluruh didalamnya terdapat perbandingan perbuatan baik dan buruk yang merupakan unsur ilmu Matematika.
2.      Berpikir secara mendasar. Seorang filosof tidak percaya begitu saja kebenaran ilmu yang diperolehnya. Ia selalu ragu dan mempertanyakannya; Mengapa ilmu dapat disebut benar?, Bagaimana proses penilaian berdasarkan kriteria tersebut dilakukan?, Apakah kriteria itu sendiri benar? Lalu benar itu sendiri apa? Seperti sebuah lingkaran dan pertanyaan-pertanyaan pun selalu muncul secara bergantian. Artinya, pemikiran yang dalam sampai kepada hasil yang fundamental atau esensial obyek yang dipelajarinya sehingga dapat dijadikan dasar berpijak bagi segenap nilai dan keilmuan. Jadi, tidak hanya berhenti pada periferis (kulitnya) saja, tetapi sampai tembus ke kedalamannya. Contoh sederhana, misalnya kita menemukan bunga mawar merah muda di sebuah taman diantara bunga-bunga melati. Jika kita hanya melihat sekilas bunga mawar tersebut, mungkin hal itu akan menjadi sangat sederhana. Akan tetapi, akan sangat berbeda jika kita benar-benar mau memikirkannya. Semuanya tak akan tampak mudah dan sederhana karena akan muncul pertanyaan-pertanyaan dalam pikiran kita yaitu siapa yang menanam bunga itu dan untuk apa bunga itu ditanam?. Padahal diantaranya sudah banyak sekali bunga melati. Contoh lain, misalnya, seorang siswa yang berpikir bagaimana agar bisa lulus dalam Ujian Akhir  Nasional (UAN), maka siswa ini tidaklah sedang berfilsafat atau berfikir secara filsafat melainkan berfikir biasa (mendasar) yang jawabannya tidak memerlukan pemikiran yang mendalam dan menyeluruh.
3.      Berpikir secara spekulatif. Seorang filosof melakukan spekulasi terhadap kebenaran. Sifat spekulatif itu pula seorang filosof terus melakukan uji coba lalu melahirkan sebuah pengetahuan dan dapat menjawab pertanyaan terhadap kebenaran yang dipercayainya. Contohnya: sebelum ditemukan lampu pijar, Thomas Alva Edison selalu melakukan uji coba, meskipun lebih dari 99 kali mengalami kegagalan dan membutuhkan waktu beberapa tahun, namun cara berpikirnya yang pantang menyerah ahirnya menciptakan lampu pijar yang mempermudah penerangan semua umat manusia.
4.      Berpikir secara sistematik. Dalam mengemukakan jawaban terhadap suatu masalah, para filsuf memakai pendapat-pendapat sebagai wujud dari proses befilsafat. Pendapat-pendapat itu harus saling berhubungan secara teratur dan terkandung maksud dan tujuan tertentu. Contoh: saat seseorang mengeyam pendidikan, ia harus menempuh sesuai dengan umur dan tahapannya, misalnya agar bisa SMA, seseorang harus menempuh SD dan SMP terlebih dahulu karena merupakan runtutan atau tahapan dari tingkatan pendidikan.
5.      Berpikir dengan pemikiran yang bertanggungjawab. Pertanggungjawaban yang pertama adalah terhadap hati nuraninya sendiri. Seorang filsuf seolah-olah mendapat panggilan untuk membiarkan pikirannya menjelajahi kenyataan. Namun, fase berikutnya adalah bagaimana ia merumuskan pikiran-pikirannya itu agar dapat dikomunikasikan pada orang lain serta dipertanggungjawabkan. Contoh: ketika menjawab sebuah pertanyaan baik dalam sebuah buku, forum atau diskusi haruslah sesuai dengan referensi yang benar yang dapat dibuktikan orang lain dan diimbangi dengan pertanggungjawaban atas semua perkataan atau pendapat yang telah dilontarkan.[2]


C.     Aliran-Aliran Filsafat

Sebagaimana ilmu lainya filsafat memiliki cabang-cabang yang berkembang sesuai dengan persoalan filsafat yang dikemukakannya. Filsafat timbul karena adanya persoalan-persoalan yang dihadapi manusia. Pesoalan-persoalan tersebut kemudian diupayakan pemecahannya oleh para filsuf secara sistematis dan rasional. Maka muncullah cabang-cabang filsafat tersebut dan berkembang terus sesuai pemikiran dan problema yang dihadapi oleh manusia.
Cabang-cabang filsafat yang tradisional terdiri atas empat yaitu ; 1) logika, 2) metafisika, 3) epistimologi, dan 4) etika. Namun demikian berangsur-angsur berkembang sejalan dengan persoalan yang dihadapi oleh manusia. Maka untuk mempermudah pemahaman kita perlu diytrakan cabang-cabang filsafat yang pokok;

1.      Metafisika; yang berkaitan dengan persoalan tentang hakikat yang ada (segala sesuatu yang ada)
2.      Epistimologi; yang berkaitan dengan persoalan hakikat pengetahuan.
3.      Metodologi; yang berkaitan dengan persoalan hakikat metode ilmiah.
4.      Logika; Yng berkaitan dengan persoalan penyimpulan.
5.      Etika;  yang berkaitan dengan persoalan moralitas.
6.      Estetika; yang berkaitan dengan persoalan keindahan.

D.    Kesatuan Sila-Sila Pancasila Sebagai Suatu Sistem

Pancasila yang terdiri atas lima sila pada hakikatnya merupakan suatu sistem filsafat. Pengertian sistem adalah satu kesatuan bagian-bagian yang saling berhubungan, saling bekerja sama untuk satu tujuan tertentu dan secara keseluruhan. Merupakan satu kesatuan yang utuh. Sistem lazimnya memililki ciri-ciri sebgai berikut ;

1.      Suatu kesatuan bagian-bagian.
2.      Bagian-bagian tersebut mempunyai funsi sendiri-sendiri.
3.      Saling berhubungan dan saling ketergantungan.
4.      Kaseluruhannya dimaksudkan untuk mencapai suatu tujuan tertentu (tujuan sistem)
5.      Terjadi dalam suatu lingkungan yang kompleks.[3]

Pancasila yang terdiri atas bagian-bagian yaitu sila-sila pancasila setiap sila pada hakikatnya merupakan suatu asas sendiri, fungsi sendiri-sendiri namun secara kseluruhan nerupakan suatu sistem sistematis.
Adapun pembagian pancasila sebagai suatu sistem ialah sebagai berikut ;

1.     Pancasila Sebagai Sistem Filsafat

Secara etimologi kata Etika berasal dari bahasa Yunani Kuno yaitu Etos, dalam bentuk tunggal mempunyai banyak pengertian : tempat tinggal yang biasa, padang rumput, kandang, kebiasaan, ahlak, watak perasaan, sikap dan cara berfikir. Dalam bentuk jamak artinya adalah adat kebiasaan, inilah yang melatarbelakangi terbentuknya istilah Etika.
Pancasila sebagai pandangan hidup merupakan cerminan nilai-nilai yang diyakini kebenaranya, sehingga memberikan motivasi untuk mewujudkan realitas dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini merupakan system etika bangsa Indonesia disamping sebagai pandangan hidup bangsa Indonesia. Nilai-nilai pancasila sudah ada sejak bangsa Indonesia ada, namun pancasila belum dirumuskan secara sistematis, misalnya nilai ketuhanan, nilai persatuan, nilai kemanusiaan, nilai musyawara untuk menuju mufakat dan nilai keadilan.

2.     Pancasila Sebagai Sistem Etika Politik

Kata politik secara etimologis berasal dari bahasa Yunani yaitu Politeia, yang akar katanya adalah Polis, yang berarti kesatuan masyarakat yang berdiri sendiri, yaitu Negara dan tela berarti urusan. Dalm bahasa Indonesia politik mempunyai kepentingan umum warga Negara dalam suatu bangsa, politik merupakan suatu rangkaian asas, jalan, arah dan medanya yang berfungsi memberikan pertimbanga dalam melaksanakan asas, jalan dan srah tersebut sebaik-baiknya.
Politik secara umum menyangkut proses penentuan tujuan Negara dan cara melaksanakanya. Pelaksanaan tujuan tersbut memerlukan kebijakan-kebijakan umum yang menyangkut pengaturan dan pembagian alokasi sumber-sumber yang ada serta memerlukan kekuasaan dan wewenag guna pembinaan kerja sama dan menyelsaikan konflik yang mungkin muncul dalam pencapain tujuan.
Etika merupakan filsafat moral atau kesusilaan yang berdasar pada keperibadian, idiologi, jiwa dan pandangan bangsa. Hakekat etika pancasila berpedoman pada norma-norma yang bersumber dari pancasila. Berkaitan dengan aplikasi kehidupan dalam aspek politik tentunya kita harus berpedoaman pada etika politik sehingga dalam kehidupan berbangsa dan bernegara tercipta suasana yang kondusif dan perdamaian.
Sebagai dasar filsafat Negara pancasila tidak hanya merupakan sumber peraturan perundang-undangan, melainkan merupakan sumber moralitas terutama dalam hubunganya dengan legitimasi kekuasaan, hokum sebagai kebijakan dalam pelaksanaan dan penyelenggaran Negara. Itulah yang mencerminkan nilai-nilai pancasila merupakan etika politik.

E.    Kesatuan Sila-Sila Pancasila

1.      Susunan kesatuan sila-sila pancasila yang bersifat organis

Isi sila-sila pancasila pada hakikatnya merupakan suatu kesatuan dasar filsafat negara indonesia terdiri atas lima sila yang masing-masing merupakan asa peradaban, namun demikian sila-sila pancasila itu merupakan suatu kesatuan dan keutuhan yaitu setiap sila merupakan unsur (bagian yang mutlak) dari pancasila. Maka pancasila merupakan satu kesatuan yang majemuk tunggal. Konsekuensinya setiap sila tidak dapat berdiri sendiri-sendiri terlepas dari sila-sila lainya serta diantara sila satu dan lainya tidak saling bertentangan.
Kesatuan sila-sila pancasila yang bersifat oganis tersebut pada hakikatnya secara filosofis bersumber pada hakikat dasar antologis manusia sebagai pendukung dari inti, isi dari sila-sila pancasila yaitu hakikat manusia ‘monopltiraliss’ yang memiliki unsur-unsur susunan kodrad jasmani, rohani ‘sifat kodrad’ individu makhluk sosial dan ‘kedudukan kodrad sebagai pribadi berdiri sendiri makhluk tuhan yang maha esa.

2.      Susunan kesatuan pancasila yang bersifat hirarkhis dan berbentuk piramidal.

Susunan pancasila adalah hirarkhis dan mempunyai bentuk piramidal. pengertian matematika piramidal digunakan untuk menggambar hubungan hirarkhi sila-sila dari pancasila dalam urut-urutan luas (kuantitas) dan juga dalam hal sifat-sifatnya (kualitas). Kalau dilihat dari intinya, urutan-urutan lima sila menunjukan suatu rangkaian tingkat dalam luasnya dan isi sifatnya, merupakan penghususan dari sila-sila yang dimukanya. Jika urutan lima sila dianggap mempunyai maksud demikian, maka diantara lima sila ada hubungan yang mengikat yang satu kepada yang lain sehingga pancasila merupakan suatu kesatuan keseluruhan yang bulat. Andaikata urut-urutan itu dipandang sebagai tidak mutlak. Diantara satu sila dengan sila lainnya tidak ada sangkut pautnya, maka pancasila it menjadi terpecah-pecah, oleh karena itu, tidak dapat dipergunakan sebagai suatu asas kerohanian bagi negara. Jikalau tiap-tiap sila dapat diartika dalam bermacam-macam maksud, sebenarnya lalu sama saja dengan tidak ada pancasila.











BAB III

PENUTUP

A.     Kesimpulan

filsafat adalah ilmu pengetahuan yang menyelidiki dan memikirkan segala sesuatunya secara mendalam dan sungguh-sungguh, serta radikal sehingga mencapai hakikat segala situasi tersebut.
Pancasila sebagai suatu kesatuan yang menjadikannya sebagai sistem filsafat memiliki dasar ontologis, dasar epitemologis, dan dasar aksiologis. Dasar ontologis Pancasila yaitu manusia, dasar epistemologinya sumber pengetahuan, teori pengetahuan, dan watak pengetahuan manusia, sedangkan dasar aksiologisnya adalah nilai-nilai dari Pancasila itu sendiri. Selain itu, Pancasila mempunyai lima sila yang setiap silanya mempunyai arti masing-masing. Sila kelima Pancasila merupakan sila yang didasari oleh keempat sila sebelumnya dan merupakan cita-cita bangsa Indonesia yakni terciptanya keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.



















DAFTAR PUSTAKA


·         Pendidikan pancasila, prof. Dr. Kaelan, m.s., paradigma yogyakarta, edisi revisi 2014.
·         Kuntho. 2010. Ciri-ciri Berfikir Filsafat (Online). http://edukonten.blogspot.com. Diakses pada tanggal 06 Februari 2013
·         Nocturna. 2011. Ciri – ciri Penalaran Filosofis (Online). http://jintut-nocturna.blogspot.com. Diakses pada tanggal 06 Februari 2013






[1] Pendidikan pancasila, prof. Dr. Kaelan, m.s., paradigma yogyakarta, edisi revisi 2014 ;16.
[2] Kuntho. 2010. Ciri-ciri Berfikir Filsafat (Online). http://edukonten.blogspot.com. Diakses pada tanggal 06 Februari 2013
[3] Nocturna. 2011. Ciri – ciri Penalaran Filosofis (Online). http://jintut-nocturna.blogspot.com. Diakses pada tanggal 06 Februari 2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

NEGARA TELAH MERDEKA, PENDIDIKAN MASIH JAUH DARI KATA MERDEKA.

NEGARA TELAH MERDEKA, PENDIDIKAN MASIH JAUH DARI KATA MERDEKA. Ditinjau dari segi bahasa, pendidikan berasal dari kata Yunani yaitu pae...