BAB I PENDAHULUAN
A.
LATAR
BELAKANG
Sebagai
sumber pokok ajaran Islam yang kedua setelah Al-Qur’an, hadits mempunyai peran
dan fungsi menentukan dalam kehidupan umat Islam. Kehadiran hadits dalam
kehidupan masyarakat menjadi penting tatkala dalam Al-Qur’an tidak didapatkan
penjelasan yang rinci dalam suatu persoalan. Hadits yang menjadi penjelas atau
bayan Al-Qur’an sangatlah dibutuhkan dalam memahami tekstual Al-Qur’an. Makanya
eksistensi hadits –dengan tidak menafikan derajat hadits– seiring dengan sumber
pokok Islam tersebut .
Kehadiran
hadits sebagai sumber pokok ajaran islam, memang banyak dipersoalkan, hal ini
berkaitan dengan matan, perawi, sanad dan lainnya, yang kesemuanya menjadi
boleh atau tidaknya suatu hadits untuk dijadikan hujjah. Terlepas dari itu,
perbedaan sahabat dalam memahami hadits pun menjadi hal yang penting untuk
ditelaah lebih lanjut, karena perbedaan pemahaman tersebut mengakibatkan
periwayatan pun menjadi berbeda. Maka dari itu perlunya kita semua memahami
ilmu hadits agar lebih memahami dan lebih jelas terhadap suatu hal yang
mempunyai korelasi dengan hadits. Dan tentunya membuat kita lebih mudah
memahami ajaran agama islam secara totalitas, sampai keakar-akarnya, lagi mudah
mengamalkan sunnah-sunnah Nabi Muhammad SAW.
B.
RUMUSAN
MASALAH
a.
Menjelaskan
pengertian ilmu hadits riwayah dan dirayah.
b.
Menjekaskan
keutamaan ilmu hadits.
c.
Menjekaskan
sebuah definisi menurut bahasa dan istilah dari;
a)
Hadits
b)
Sunnah
c)
Khabar
d)
Atsar
d.
Menjelaskan
sebuah definisi hadits menurut ahli hadits dan ahli fiqh atau ushul fiqh.
e.
Menjekaskan
obyek, peletak, faidah ilmu hadits.
f.
Menjelaskan
sebuah perbedaan hadits nabawi, hadits qudsi dan al-qur’an.
C.
TUJUAN
PEMBAHASAN
a.
Memberikan
pengertian ilmu hadits riwayah dan dirayah.
b.
Memberikan
keutamaan ilmu hadits.
c.
Memberikan
sebuah definisi menurut bahasa dan istilah dari;
a)
Hadits
b)
Sunnah
c)
Khabar
d)
Atsar
d.
Memberikan
sebuah definisi hadits menurut ahli hadits dan ahli fiqh atau ushul fiqh.
e.
Memberikan
obyek, peletak, faidah ilmu hadits.
f.
Memberikan
sebuah perbedaan hadits nabawi, hadits qudsi dan al-qur’an.
BAB
II PEMBAHASAN
A.
PENGERTIAN
ILMU HADITS RIWAYAH DAN DIRAYAH
a.
Ilmu
Hadits Riwayah
Ilmu hadits riwayah adalah ilmu hadits yang mempelajari cara-cara penukilan, pemeliharaan dan penulisan hadits. Tujuannya untuk memahami
hadits-hadits Nabi Muhammad Rosulullah saw. sebagai penjelas al-Qur'an, dan
menjadikan hadits (perkataan, perbuatan, dan taqrir Nabi Muhammad saw.) teladan.
Objek kajian ilmu hadits riwayah ini meliputi:
1.
Cara
periwayatan hadits, berarti cara penerimaan dan penyampaian hadits kepada orang
lain,
2.
penulisan
serta pembukuan hadits.[1]
Pada masa Nabi Muhammad saw. para sahabat dilarang menulis hadits.
Dengan demikian hadits hanya tersimpan dalam hafalan para sahabat. Meskipun
demikian keaslian hadits tersebut sejak penerimaan dari Rosulullah saw. sampai
pada masa pembukuannya terjamin dengan baik, karena beberapa faktor:
1.
Nabi
Muhammad saw. menyampaikannya dengan fasih serta menggunakan bahasa yang baik
dan benar;
2.
Nabi
Muhammad saw. sering menyesuaikan dialeknya dengan dialek lawan bicaranya;
3.
cara
Nabi Muhammad saw. berbicara perlahan-lahan, tegas, dan jelas, serta sering
mengulangnya hingga tiga kali;
4.
para
sahabat sangat mengidolakan dan sangat hormat kepada Nabi Muhammad saw.
sehingga mereka yakin betul apa yang beliau ucapkan mengandung makna. Karena
itulah para sahabat mendengarkan sabdanya dengan tekun;
5.
orang-orang
Arab memiliki kemampuan menghafal yang sangat luar biasa; dan
6.
pada
tingkat tabi'in, periwayatan hadits dan keasliannya terjamin oleh anggapan
mereka bahwa apa yang diterima itu semuanya adalah sesuatu yang berharga.[2]
Periwayatan hadits oleh para sahabat, tabi'in (generasi setelah
sahabat), dan tabi'it-tabi'in (generasi sesudah tabi'in) dilakukan dengan dua
cara, yaitu periwayatan dengan lafal (riwayah bi al-lafzi); dan periwayatan
dengan makna (riwayah bi al-ma'na)
1.
Periwayatan
dengan lafal (riwayah bi al-lafdzi)
Yaitu periwayatan
yang disampaikan sesuai dengan lafal yang diucapkan oleh Nabi Muhammad saw.
Periwayatan hadits sesuai dengan lafal ini sangat sedikit jumlahnya.
Ciri-ciri hadits yang diriwayatkan secara lafal ini, antara lain:
Ciri-ciri hadits yang diriwayatkan secara lafal ini, antara lain:
1)
dalam
bentuk muta'abad (sanadnya memperkuat hadits lain yang sama sanadnya), misalnya
hadits tentang adzan dan syahadat.
2)
hadits-hadits tentang doa; dan
3)
tentang kalimat yang padat dan memiliki
pengertian yang mendalam (jawaami' al-kalimah)[3]
2.
Periwayatan
dengan makna (riwayah b al-makna)
Yaitu hadits
yang diriwayatkan sesuai dengan makna yang dimaksudkan oleh Nabi Muhammad saw.
Dengan demikian dari segi redaksinya ada perubahan. Sebagian besar hadits Nabi
saw. diriwayatkan dengan cara demikian. Sebab beliau memberi isyarat
diperbolehkannya meriwayatkan hadits dengan riwayah bi al-ma'na
1)
periwayat
haruslah seorang muslim, baligh, adil, dan dhobit (cermat dan kuat);
2)
periwayat
hadits tersebut haruslah benar-benar memahami isi dan kandungan hadits yang
dimaksud;
3)
periwayat
hadits haruslah memahami secara luas perbedaan-perbedaan lafal sinonim dalam
bahasa Arab;
4)
meskipun si pelafal lupa lafal atau redaksi
hadits yang disampaikan Nabi Muhammad saw., namun harus ingat maknanya secara
tepat.[4]
b.
Ilmu
Hadits Dirayah
Ilmu hadits dirayah adalah bagian dari ilmu hadits yang mempelajari
kaidah-kaidah untuk mengetahui hal ikhwal sanad, matan, cara-cara menerima dan
menyampaikan hadits, sifat-sifat rawi dan lain-lain. Definisi ini sesuai dengan
makna kata dirayah yang secara bahasa berarti pengetahuan dan pengenalan.
Kegunaan ilmu ini tidak lain untuk mengetahui dan menetapkan diterima (maqbul)
dan ditolak (mardud)nya suatu hadits. Ilmu hadits dirayah ini memiliki beberapa
cabang yang berkaitan dengan sanad, rawi, dan matan hadits.
B.
KEUTAMAAN
ILMU HADITS
Ketinggian dan
kemulian suatu ilmu tergantung apa yang terkandung dalam ilmu itu sendiri, dia
semakin mulia dan agung bila yang terkandung juga mulia dan agung. Dan ilmu
hadits adalah termasuk ilmu yang paling mulia dan tinggi kedudukannya.[5]
Sufyan Tsauri rahimahullah berkata :
“ Saya tidak mengetahui apa yang lebih utama daripada ilmu hadits bagi orang yang mengharap wajah Allah. Karena sungguh manusia memerlukannya pada urusan makanan dan minuman mereka. Dia lebih mulia dari sholat sunnah ataupun puasa sunnah, karena ilmu hadits itu adalah fardu kifayah”.
Para imam dan ahli hadits meriwayatkan satu hadits yang shahih bahwa Nabi Sallallahu ‘alaihi wasallam bersabda :
Sufyan Tsauri rahimahullah berkata :
“ Saya tidak mengetahui apa yang lebih utama daripada ilmu hadits bagi orang yang mengharap wajah Allah. Karena sungguh manusia memerlukannya pada urusan makanan dan minuman mereka. Dia lebih mulia dari sholat sunnah ataupun puasa sunnah, karena ilmu hadits itu adalah fardu kifayah”.
Para imam dan ahli hadits meriwayatkan satu hadits yang shahih bahwa Nabi Sallallahu ‘alaihi wasallam bersabda :
لا تزال طائفة من أمتي ظاهرين على الحق حتى تقوم الساعة
“ Senantiasa
akan ada dari umatku suatu golongan yang selalu kuat di atas kebenaran hingga
datang hari kiamat” ( HR. Bukhari dan Muslim dan
yang lainnya)
Para ulama dan
ahli hadits menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan golongan pada hadits
tersebut, mereka adalah ahli hadits.
Imam
Ibnu al-Mubarok rahimahullah setelah menyebutkan hadits ini
berkata :” Menurut saya mereka ( golongan itu) adalah para ahli hadits”.
Imam
Ahmad ibn Hambal rahimahullah juga ditanya tentang hal ini,
maka beliau berkata: “ Kalau golongan ini bukan para ahli hadits, maka saya
tidak tahu siapa mereka”.
Begitu
juga yang diutarakan oleh Ibnu al-Madini, Imam Bukhari, Ahmad ibn Sinan
rahimahumullah dan yang lainnya, mereka semua mengatakan bahwa yang dimaksud
golongan tersebut adalah para ahli hadits.
Syaikh Albani rahimahullah juga menukil bahwa seorang ahli ilmu dan
termasuk ulama besar Hanafiyah yaitu Abu al-Hasanat Muhammad Abdul Hayyi
rahimahullah berkata :
” Barangsiapa yang meneliti dengan obyektif dan menyelami lautan fiqh dan ushul dengan tanpa rasa kecondongan, niscaya dia akan tahu benar dan yakin bahwa mayoritas masalah – masalah furu ( cabang) dan ushul (pokok) yang diperselisihkan para ulama, maka madzhab ahli hadits lebih kuat daripada yang lainnya. Dan sungguh, ketika saya melewati banyak perbedaan pendapat, saya mendapati bahwa pendapat para ahli hadits dekat kepada keobyektifan. Sungguh mengagumkan! Kepada mereka harus berterima kasih. Kenapa tidak? Mereka adalah benar – benar pewaris para nabi dan wakil syariatnya. Semoga Allah mengumpulkan kita bersama mereka dan mematikan kita di atas kecintaan mereka dan sirah mereka ”
” Barangsiapa yang meneliti dengan obyektif dan menyelami lautan fiqh dan ushul dengan tanpa rasa kecondongan, niscaya dia akan tahu benar dan yakin bahwa mayoritas masalah – masalah furu ( cabang) dan ushul (pokok) yang diperselisihkan para ulama, maka madzhab ahli hadits lebih kuat daripada yang lainnya. Dan sungguh, ketika saya melewati banyak perbedaan pendapat, saya mendapati bahwa pendapat para ahli hadits dekat kepada keobyektifan. Sungguh mengagumkan! Kepada mereka harus berterima kasih. Kenapa tidak? Mereka adalah benar – benar pewaris para nabi dan wakil syariatnya. Semoga Allah mengumpulkan kita bersama mereka dan mematikan kita di atas kecintaan mereka dan sirah mereka ”
Syaikh Sa’d
ibn Abdillah al-Humaid ditanya :” Mengapa kita belajar ilmu hadits?”
Beliau menjawab : “ Kita belajar ilmu hadits :
Beliau menjawab : “ Kita belajar ilmu hadits :
1.
Karena dia
adalah ilmu yang paling mulia
2. Karena ahli hadits, merekalah yang menjadi
sinar yang terang benderang. Kalau kita lihat imam yang empat, kita temukan
tiga dari mereka adalah merupakan imam yang terkenal dalam ilmu hadits. Imam
Malik, kitab Muwatthanya penuh dengan hadits. Imam Syafi’i kitab al-Umm beliau
penuh dengan hadits yang dipaparkan beliau lengkap dengan sanadnya, begitu juga
kitab Risalah beliau.Dan salah satu murid beliau menyusun Musnad as- Syafi’i
yang diambil dari hadits – hadits yang beliau riwayatkan di dalam kitab – kitab
beliau, jadilah kitab itu terkenal dengan nama Musnad as-Syafi’i, begitu juga
kitab Sunan.[6]
Adapun Imam Ahmad, ahli hadits yang
teratas dan tidak diketahui bahwa Imam Ahmad menulis di bidang fiqih walaupun
satu huruf, walau sudah diketahui bahwa beliau termasuk ahli fiqih. Beliau melarang murid – murid beliau menulis pendapat semata dan
mendorong mereka untuk menulis hadits”. Wallahu a’lam
C.
DEFINISI
MENURUT BAHASA DAN ISTILAH DARI;
a.
HADITS
Hadist atau
al-hadist menurut bahasa al-jadid yang artinya sesuatu yang baru
-lawan dari al-Qadim- artinya yang berarti menunjukkan kepada waktu yang
dekat atau waktu yang singkat. Hadist juga sering disebut sebagai al-khabar,
yang berarti berita, yaitu sesuatu yang dipercakapkan dan dipindahkan dari
seorang kepada orang lain. Sedangkan menurut istilah (terminologi),
para ahli memberikan definisi (ta’rif) yang berbeda-beda sesuai
latar belakang disiplin ilmunya. Seperti pengertian hadist menurut ahli ushul
akan berbeda dengan pengertian yang diberikan oleh ahli hadis.
Menurut ahli
hadist pengertian hadist ialah segala perkataan Nabi SAW, perbuatan, dan hal
ihwannya. Yang dimaksud dengan hal ihwal ialah segala yang diriwayatkan dari
Nabi SAW yang berkaitan dengan himmah, karakteristik, sejarah kelahiran dan
kebiasaan-kebiasaanya.
Ada juga yang
memberikan pengertian lain, yaitu sesuatu yang disandarkan kepada Nabi SAW baik
berupa perkataan, perbuatan, taqrir, maupun sifat beliau.
Tetapi sebagian
muhaditssin berpendapat bahwa hadist mempunyai cakupan pengertian yang lebih
luas, tidak terbatas pada apa yang di sampaikan kepada Nabi SAW saja, melainkan
termasuk juga yang disandarkan kepada para sahabat dan tabiin. Sebagaimana di
sebutkan oleh al-tirmisi;
''Bahwasanya
hadist itu bukan hanya untuk sesuatu yang marfu', yaitu sesuatu yang
disandarkan kepada Nabi SAW, melainkan bisa juga untuk sesuatu yang mauquf
yaitu yang disandarkan kepada sahabat dan yang maqtu' yaitu yang di sandarkan
kepada tabiin.''
Sementara para
ulama ushul memberikan pengertian hadist adalah segala perkataan Nabi SAW,
perbuatan, dan taqrirnya yang berkaitan dengan hukum syara' dan ketetapannya.
Pengertian hadist menurut ahli ushul lebih sempit dibanding dengan pengertian
hadist menurut ahli hadist. Menurut ahli ushul hadist adalah segala sesuatu
yang bersumber dari Nabi SAW baik ucapan, perbuatan, maupun ketetapan yang
berhubungan dengan hukum atau ketentuan-ketantuan Allah yang disyariatkan
kepada manusia. Selain itu tidak bisa di katakan hadist
b.
SUNNAH
Sunnah menurut
etimologi berarti cara yang bisa ditempuh baik ataupun buruk, sebagaimana sabda
nabi:
"Barang
siapa membuat inisiatif yang baik ia akan mendapatkan pahala dan pahala
orang-orang yang mengerjakannya sesudahnya tanpa sedikitpun berkurang; dan
barang siapa membuat inisiatif yang jelek, ia akan mendapatkan dosa dan dosa
orang-orang yang mengerjakannya sesudahnya tanpa sedikitpun berkurang.''
(HR.MUSLIM)
Dalam al-Qur'an
surat al-Kahfi (18):55, Allah berfirman;
"Dan tidak
sesuatu apapun yang menghalangi manusia dari beriman, ketika petunjuk telah
datang kepada mereka, dan memohon ampun kepada tuhanya, kecuali (keinginan
menanti ) datangnya hukum (Allah yang telah berlaku pada) umat-umat terdahulu”.
Sedang sunnah
menurut istilah, di kalangan ulama terdapat perbedaan pendapat. Hal ini
disebabkan karena perbedaan latar belakang, persepsi, dan sudut pandang
masing-masing terhadap diri Rasulullah SAW. Secara garis besarnya mereka
terkelompok menjadi tiga golongan; Ahli Hadist, ahli Usul, dan ahli Fiqh.
Dapat diambil
sebuah kesimpulan bahwa, sunnah cakupannya lebih luas di banding hadist, sebab
sunnah mencakup perkataan, perbuatan dan penetapan (taqrir) Rasul, yang bisa di
jadikan dalil hukum syar'i.
c.
KHABAR
Khabar menurut bahasa
serupa dengan makna hadist, yakni segala berita yang disampaikan oleh
seseorang kepada orang lain. Sedang pengertian khabar menurut istilah, antara
satu ulama dengan ulama lainnya berbeda pendapat.
Ulama lain
megatakan bahwa khabar adalah sesuatu yang datang selain dari Nabi SAW di sebut
hadist. Ada juga yang mengatakan bahwa hadist lebih umum dan lebih luas dari
pada khabar, sehingga tiap hadist dapat dikatakan khabar tetapi tidak
setiap khabar dikatakan hadist.
d.
ATSAR
Atsar menurut
pendekatan bahasa sama artinya dengan khabar, hadits, dan sunnah. Sedangkan
atsar menurut istilah yaitu “segala sesuatu yang diriwayatkan dari
sahabat, dan boleh juga disandarkan pada perkataan Nabi SAW.”
Jumhur ulama’
mengatakan bahwa atsar sama dengan khabar, yaitu sesuatu yang disandarkan
kepada Nabi SAW, sahabat, dan tabi’in. Sedangkan menurut ulama’ Khurasan bahwa
atsar untuk yang mauquf dan khabar untuk yang marfu’.
D.
DEFINISI
HADITS MENURUT AHLI HADITS DAN AHLI FIQH ATAU USHUL FIQH
a.
Definisi
Hadits menurut ahli hadits.
Ulama
hadis mendefenisikan hadis sebagai berikut :
كُلُّ مَا اُثِرَ عَنِ النَّبِيّ صَلَّي اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ مِنْ قَوْلٍ اَوْ فِعْلٍ اَوْ تَقْرِيْرٍ اَوْ صِفَةٍ خَلْقيَّةٍ اُوْ خُلُقِيَّةٍ
Artinya : Segala sesuatu yang diberitakan Nabi SAW. Baik
berupa sabda, perbuatan, taqrir, sifat-sifat maupun hal ihwal.
Demikian pengertian hadis secara terminologi bila ditinjau
oleh aliran ilmu hadis. Maka akan ada perberdaan dari pengertian menurut aliran
ilmu yang lain.
b.
Definisi
Hadits menurut para Ushul Fiqh.
Menurut
istilag ahli ushul fiqh, pengertian hadis adalah :
Hadis yaitu segala sesuatu yang
disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW, selain Al-Quran Al-Karim, baik berupa
perkataan,perbuatan maupun taqrir Nabi yang perpangku paut dengan hukum syara.
Tidak termasuk dalam istilah hadis
adalah ssuatu yang tidak bersangkut paut denga hukum, seperti urusan pakaian
yang merupakan bagian dari kebudayaan. Akan tetapi,dalam cara-cara berpakain
sperti menutupi pakaian seperti menutup aurat merupakan bagian dari hadis
karena tuntunan Islam. Itu sebabnya, dalam kajian fiqh, pakaian termasuk
jabaliyyah, yaitu sebagian merupakan tuntunan kebudayaan, sebagaian lagi
tuntunan Syariat Islam.
c.
Definisi
Hadits menurut Ulama’ Fiqh.
Adapun
menurut istilah para fuqaha, hadis adalah :
كل ما ثبت عن النني ولم يكن من باب
الفرض ولا الواجب
artinya : segeala sesuatu yang ditetapkan Nabi SAW, yang
tidak bersangkut paut dengan masalah-masalah fardhu atau wajib.
E.
OBYEK,
PELETAK, FAIDAH ILMU HADITS
Obyek
ilmu hadis adalah pribadi Rasulullah Saw, baik berupa perkataan, perbuatan atau
ketetapan Nabi. Faedah ilmu hadis adalah berupaya untuk menjaga sunnah nabawiyyah
memperdalam dan menyebarkannya kepada masyarakat Islam dan juga untuk menjaga
eksistensi hadis. Tokoh paling berjasa penghimpun hadis adalah Muhammad Ibn
Syihab al-Zuhri pada masa pemerintahan Umar Ibn Abdul Aziz. Dia adalah orang
yang pertama kali membukukan dan mengumpulkan hadis atas perintah khalifah Umar
Ibn Abdul Aziz. Dia pernah menulis surat ke berbagai penjuru negara yang
isinya,
“Hendaklah kalian memperhatikan hadis atau sunnah Rasulullah, karena itu tulislah hadis tersebut, karena saya takut ilmu itu hilang dan meninggalnya para ulama’’.
Adapun Peletak ilmu hadits adalah alqodi abul hasan ibn khallad.
“Hendaklah kalian memperhatikan hadis atau sunnah Rasulullah, karena itu tulislah hadis tersebut, karena saya takut ilmu itu hilang dan meninggalnya para ulama’’.
Adapun Peletak ilmu hadits adalah alqodi abul hasan ibn khallad.
F.
PERBEDAAN
HADITS NABAWI, HADITS QUDSI DAN AL-QUR’AN
Alquran adalah kalam atau firman Allah yang diturunkan kepada
Muhammad saw. yang pembacaannya merupakan ibadah. Dalam definisi kalam
merupakan kelompok jenis yang meliputi segala kalam. Dan, dengan
menggabungkannya kepada Allah (kalamullah) berarti tidak termasuk semua kalam
manusia, jin, dan malaikat.[7]
Hadis nabawi itu ada dua. Pertama, tauqifi. Yang bersifat tauqifi
yaitu yang kandungannya diterima oleh Rasulullah saw. dari wahyu. Lalu, ia
menjelaskan kepada manusia dengan kata-katanya sendiri. Bagian ini meskipun
kandungannya dinisbahkan kepada Allah, tetapi dari segi pembicaraan lebih layak
dinisbahkan kepada Rasulullah saw., sebab kata-kata itu dinisbahkan kepada yang
mengatakannya meskipun di dalamnya terdapat makna yang diterima dari pihak
lain.
Kedua, taufiqi. Yang bersifat taufiqi yaitu yang disimpulkan oleh
Rasulullah saw. menurut pemahamannya terhadap Alquran, karena ia mempunyai
tugas menjelaskan Alquran atau menyimpulkannya dengan pertimbangan dan ijtihad.
Bagian kesimpulan yang bersifat ijitihad ini diperkuat oleh wahyu jika ia
benar. Dan, bila terdapat kesalahan di dalamnya, turunlah wahyu yang
membetulkannya. Bagian ini bukanlah kalam Allah secara pasti.[8]
Dari sini, jelaslah bahwa hadis nabawi dengan kedua bagiannya yang
tauqifi atau yang taufiqi dengan ijtiihad yang diakui dari wahyu itu bersumber
dari wahyu. Inilah makna dari firman Allah tentang Rasul-Nya, “Dia (Muhammad)
tidak berbicara menurut hawa nafsunya. Apa yang diucapkannya itu tidak lain
hanyalah wahyu yang diturunkan kepadanya.” (An-Najm: 3–4).
Hadis qudsi itu maknanya dari Allah, ia disampaikan kepada
Rasulullah saw. melalui salah satu cara penuturan wahyu, sedang lafalnya dari
Rasulullah saw. Inilah pendapat yang kuat. Dinisbahkannya hadis qudsi kepada
Allah Taala adalah nisbah mengenai isinya, bukan nisbah mengenai lafalnya.
Sebab, seandainya hadis qudsi itu lafalnya juga dari Allah, tidak ada lagi
perbedaan antara hadis qudsi dan Alquran, dan tentu pula gaya bahasanya
menuntut untuk ditantang, serta membacanya pun akan dianggap ibadah.
Mengenai hal ini timbul dua macam syubhat.
Pertama, bahwa hadis nabawi juga wahyu secara maknawi yang lafalnya dari Rasulullah saw., tetapi mengapa hadis nabawi tidak kita namakan juga hadis qudsi. Jawabnya adalah, kita merasa pasti tentang hadis qudsi bahwa ia diturunkan maknanya dari Allah karena adanya nas syara yang menisbahkannya kepada Allah, yaitu kata-kata Rasulullah saw. Allah Taala telah berfirman, atau Allah Taala berfirman. Itu sebabnya kita namakan hadis itu hadis qudsi. Hal ini berbeda dengan hadis nabawi, karena hadis nabawi tidak memuat nas seperti ini. Di samping itu, masing-masing isinya boleh jadi diberitahukan kepada Nabi melalui wahyu, yakni secara tauqifi, namun mungkin juga disimpulkan melalui ijtihad, yaitu secara taufiqi. Oleh sebab itu, kita namakan masing-masing dengan nabawi sebagai terminal nama yang pasti. Seandainya kita mempunyai bukti untuk membedakan mana wahyu tauqifi, tentulah hadis nabawi itu kita namai pula hadis qudsi.
Pertama, bahwa hadis nabawi juga wahyu secara maknawi yang lafalnya dari Rasulullah saw., tetapi mengapa hadis nabawi tidak kita namakan juga hadis qudsi. Jawabnya adalah, kita merasa pasti tentang hadis qudsi bahwa ia diturunkan maknanya dari Allah karena adanya nas syara yang menisbahkannya kepada Allah, yaitu kata-kata Rasulullah saw. Allah Taala telah berfirman, atau Allah Taala berfirman. Itu sebabnya kita namakan hadis itu hadis qudsi. Hal ini berbeda dengan hadis nabawi, karena hadis nabawi tidak memuat nas seperti ini. Di samping itu, masing-masing isinya boleh jadi diberitahukan kepada Nabi melalui wahyu, yakni secara tauqifi, namun mungkin juga disimpulkan melalui ijtihad, yaitu secara taufiqi. Oleh sebab itu, kita namakan masing-masing dengan nabawi sebagai terminal nama yang pasti. Seandainya kita mempunyai bukti untuk membedakan mana wahyu tauqifi, tentulah hadis nabawi itu kita namai pula hadis qudsi.
Kedua, apabila lafal hadis qudsi itu dari Rasulullah saw., maka
dengan alasan apakah hadis itu dinisbahkan kepada Allah melalui kata-kata Nabi:
Allah Taala telah berfirman atau Allah Taala berfirman. Jawabnya ialah bahwa
hal yang demikian ini biasa terjadi dalam bahasa Arab, yang menisbahkan kalam
berdasarkan kandungannya, bukan berdasarkan lafalnya. Misalkan ketika kita
mengubah sebait syair menjadi prosa, kita katakana bahwa penyair berkata
demikian. Juga ketika kita menceritakan apa yang kita dengar dari seseorang,
kita pun mengatakan si Fulan berkata demikian. Begitu juga Alquran menceritakan
tentang Musa, Firaun, dan sebagainya, isi kata-kata mereka dengan lafal yang
bukan lafal mereka dan dengan gaya bahasa yang bukan gaya bahasa mereka, tetapi
dinisbahkan kepada mereka.
“Dan ingatlah ketika Tuhanmu menyeru Musa (dengan firmannya):
‘Datangilah kaum yang zalim itu, (yaitu) kaum Firaun. Mengapa mereka tidak
bertakwa? Berkata Musa: ‘Ya Tuahnku, aku takut bahwa mereka akan mendustakan
aku. Dan, (karena itu) sempitlah dadaku dan tidak lancar lidahku, maka utuslah
(Jibril) kepada Harun. Dan, aku berdosa terhadap mereka, maka aku takut mereka
akan membunuhku.’ Allah berfirman, ‘Jangan takut (mereka tidak akan bisa
membunuhmu), maka pergilah kami berdua dengan membawa ayat-ayat kami
(mukjizat-mukjizat); sesungguhnya kami bersamamu mendengarkan (apa-apa yang
mereka katakana), maka datanglah kamu berdua kepada Firaun dan katakanlah
olehmu, ‘Sesungguhnya kami adalah rasul Tuhan semesta alam, lepaskanlah Bani
Israil (pergi) beserta kami.’ Firaun menjawab, ‘Bukankah kami telah mengasuhmu
di antara (keluarga) kami, waktu kamu masih kanak-kanak dan kamu tinggal
bersama kami beberapa tahun dari umurmu. Dan, kamu telah berbuat sesuatu
perbuatan yang kamu lakukan itu dan kamu termasuk golongan orang-orang yang
tidak membalas guna.’ Berkata Musa, ‘Aku telah melakukannya sedang aku di waktu
itu termasuk orang-orang yang khilaf. Lalu, aku lari meninggalkan kamu ketika
aku takut kepadamu, kemudian Tuhanku memberikan kepadaku ilmu serta Dia
menjadikanku salah seorang di antara rasul-rasul. Budi yang kamu limpahkan
kepadaku itu adalah (disebabkan) kamu telah memperbudak Bani Israil.’ Firaun
bertanya, ‘Siapa Tuhan semesta alam itu?’ Musa menjawab, ‘Tuhan Pencipta langit
dan bumi dan apa-apa yang di antara keduanya (itulah Tuhanmu), jika kamu
sekalian (orang-orang) mempercayainya’.” (As-Syuara: 10–24).
BAB
III PENUTUP
A.
KESIMPULAN
Ilmu
hadits riwayah adalah ilmu
hadits yang mempelajari cara-cara penukilan,
pemeliharaan dan penulisan hadits. Dan Ilmu hadits dirayah adalah bagian dari
ilmu hadits yang mempelajari kaidah-kaidah untuk mengetahui hal ikhwal sanad,
matan, cara-cara menerima dan menyampaikan hadits, sifat-sifat rawi dan
lain-lain. Sufyan Tsauri rahimahullah berkata mengenai keutamaan hadits sebagai
berikut :
“ Saya tidak mengetahui apa yang lebih utama daripada ilmu hadits bagi orang yang mengharap wajah Allah. Karena sungguh manusia memerlukannya pada urusan makanan dan minuman mereka. Dia lebih mulia dari sholat sunnah ataupun puasa sunnah, sebab karena ilmu hadits merupakan salah satu hal pokok fardu kifayah”.
Mengenai obyek ilmu hadis adalah pribadi Rasulullah Saw, baik berupa perkataan, perbuatan atau ketetapan Nabi. Sedangkan, Peletak ilmu hadits adalah alqodi abul hasan ibn khallad.
“ Saya tidak mengetahui apa yang lebih utama daripada ilmu hadits bagi orang yang mengharap wajah Allah. Karena sungguh manusia memerlukannya pada urusan makanan dan minuman mereka. Dia lebih mulia dari sholat sunnah ataupun puasa sunnah, sebab karena ilmu hadits merupakan salah satu hal pokok fardu kifayah”.
Mengenai obyek ilmu hadis adalah pribadi Rasulullah Saw, baik berupa perkataan, perbuatan atau ketetapan Nabi. Sedangkan, Peletak ilmu hadits adalah alqodi abul hasan ibn khallad.
Alquran adalah kalam atau firman Allah yang diturunkan kepada
Muhammad saw. yang pembacaannya merupakan ibadah. Dalam definisi kalam
merupakan kelompok jenis yang meliputi segala kalam. Dan, dengan
menggabungkannya kepada Allah (kalamullah) berarti tidak termasuk semua kalam manusia,
jin, dan malaikat. Adapun Hadis qudsi itu
maknanya dari Allah, ia disampaikan kepada Rasulullah saw. melalui salah satu
cara penuturan wahyu, sedang lafalnya dari Rasulullah saw.
B.
KRITIK
DAN SARAN
Alhamdulillah,
atas selesainya makalah ini Semoga dapat
bermanfaat bagi kita semua. Amin. Tiada gading
yang tak retak, tentu tidak menutup kemungkinan, banyak persoalan seputar tema
yang diangkat yang belum tuntas, sehingga perlu tinjauan kembali dari
teman-teman, dan lebih khusus dosen pemandu untuk memberikan kritik
dan saran yang membangun demi perbaikan makalah ini .
DAFTAR PUSTAKA
·
Mudasir,
Ilmu Hadis, Bandung: CV Pustaka Setia, 1999.
·
Pengantar
Studi Al-Qur’an dan Hadits, Teras: Yogyakarta.
·
Abu Maryam, Maraji : Silsilah
Ahadits as-Shohihah oleh Syaikh al-Albani : I/545-546,Fatawa Haditsiyah oleh
Syaikh Sa’d ibn Abdillah al-Humaid.
·
Studi Ilmu-Ilmu Quran,
terjemahan dari Mabaahits fii ‘Uluumil Quraan, Manna’ Khaliil al-Qattaan,
pustaka media; semarang.
[1] Mudasir, Ilmu Hadis, Bandung: CV Pustaka Setia, 1999, hal
23.
[5] Abu
Maryam, Maraji : Silsilah Ahadits as-Shohihah oleh Syaikh al-Albani :
I/545-546,Fatawa Haditsiyah oleh Syaikh Sa’d ibn Abdillah al-Humaid : 15.
[7] Studi Ilmu-Ilmu
Quran, terjemahan dari Mabaahits fii ‘Uluumil Quraan, Manna’ Khaliil al-Qattaan, pustaka media; semarang, hal.
25.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar