Sabtu, 13 Mei 2017

MAKALAH : Hadits Riwayah Dan Dirayah, Keutamaan Hadits.

BAB I PENDAHULUAN
A.    LATAR BELAKANG
Sebagai sumber pokok ajaran Islam yang kedua setelah Al-Qur’an, hadits mempunyai peran dan fungsi menentukan dalam kehidupan umat Islam. Kehadiran hadits dalam kehidupan masyarakat menjadi penting tatkala dalam Al-Qur’an tidak didapatkan penjelasan yang rinci dalam suatu persoalan. Hadits yang menjadi penjelas atau bayan Al-Qur’an sangatlah dibutuhkan dalam memahami tekstual Al-Qur’an. Makanya eksistensi hadits –dengan tidak menafikan derajat hadits– seiring dengan sumber pokok Islam tersebut .
Kehadiran hadits sebagai sumber pokok ajaran islam, memang banyak dipersoalkan, hal ini berkaitan dengan matan, perawi, sanad dan lainnya, yang kesemuanya menjadi boleh atau tidaknya suatu hadits untuk dijadikan hujjah. Terlepas dari itu, perbedaan sahabat dalam memahami hadits pun menjadi hal yang penting untuk ditelaah lebih lanjut, karena perbedaan pemahaman tersebut mengakibatkan periwayatan pun menjadi berbeda. Maka dari itu perlunya kita semua memahami ilmu hadits agar lebih memahami dan lebih jelas terhadap suatu hal yang mempunyai korelasi dengan hadits. Dan tentunya membuat kita lebih mudah memahami ajaran agama islam secara totalitas, sampai keakar-akarnya, lagi mudah mengamalkan sunnah-sunnah Nabi Muhammad SAW.
B.     RUMUSAN MASALAH
a.       Menjelaskan pengertian ilmu hadits riwayah dan dirayah.
b.      Menjekaskan keutamaan ilmu hadits.
c.       Menjekaskan sebuah definisi menurut bahasa dan istilah dari;
a)      Hadits
b)      Sunnah
c)      Khabar
d)     Atsar
d.      Menjelaskan sebuah definisi hadits menurut ahli hadits dan ahli fiqh atau ushul fiqh.
e.       Menjekaskan obyek, peletak, faidah ilmu hadits.
f.       Menjelaskan sebuah perbedaan hadits nabawi, hadits qudsi dan al-qur’an.
C.     TUJUAN PEMBAHASAN
a.       Memberikan pengertian ilmu hadits riwayah dan dirayah.
b.      Memberikan keutamaan ilmu hadits.
c.       Memberikan sebuah definisi menurut bahasa dan istilah dari;
a)      Hadits
b)      Sunnah
c)      Khabar
d)     Atsar
d.      Memberikan sebuah definisi hadits menurut ahli hadits dan ahli fiqh atau ushul fiqh.
e.       Memberikan obyek, peletak, faidah ilmu hadits.
f.       Memberikan sebuah perbedaan hadits nabawi, hadits qudsi dan al-qur’an.







BAB II PEMBAHASAN
A.    PENGERTIAN ILMU HADITS RIWAYAH DAN DIRAYAH
a.       Ilmu Hadits Riwayah
Ilmu hadits riwayah adalah ilmu hadits yang mempelajari cara-cara penukilan, pemeliharaan dan penulisan hadits. Tujuannya untuk memahami hadits-hadits Nabi Muhammad Rosulullah saw. sebagai penjelas al-Qur'an, dan menjadikan hadits (perkataan, perbuatan, dan taqrir Nabi Muhammad saw.) teladan.
Objek kajian ilmu hadits riwayah ini meliputi:
1.      Cara periwayatan hadits, berarti cara penerimaan dan penyampaian hadits kepada orang lain,
2.      penulisan serta pembukuan hadits.[1]
Pada masa Nabi Muhammad saw. para sahabat dilarang menulis hadits. Dengan demikian hadits hanya tersimpan dalam hafalan para sahabat. Meskipun demikian keaslian hadits tersebut sejak penerimaan dari Rosulullah saw. sampai pada masa pembukuannya terjamin dengan baik, karena beberapa faktor:
1.      Nabi Muhammad saw. menyampaikannya dengan fasih serta menggunakan bahasa yang baik dan benar;
2.      Nabi Muhammad saw. sering menyesuaikan dialeknya dengan dialek lawan bicaranya;
3.      cara Nabi Muhammad saw. berbicara perlahan-lahan, tegas, dan jelas, serta sering mengulangnya hingga tiga kali;
4.      para sahabat sangat mengidolakan dan sangat hormat kepada Nabi Muhammad saw. sehingga mereka yakin betul apa yang beliau ucapkan mengandung makna. Karena itulah para sahabat mendengarkan sabdanya dengan tekun;
5.      orang-orang Arab memiliki kemampuan menghafal yang sangat luar biasa; dan
6.      pada tingkat tabi'in, periwayatan hadits dan keasliannya terjamin oleh anggapan mereka bahwa apa yang diterima itu semuanya adalah sesuatu yang berharga.[2]
Periwayatan hadits oleh para sahabat, tabi'in (generasi setelah sahabat), dan tabi'it-tabi'in (generasi sesudah tabi'in) dilakukan dengan dua cara, yaitu periwayatan dengan lafal (riwayah bi al-lafzi); dan periwayatan dengan makna (riwayah bi al-ma'na)
1.      Periwayatan dengan lafal (riwayah bi al-lafdzi)
Yaitu periwayatan yang disampaikan sesuai dengan lafal yang diucapkan oleh Nabi Muhammad saw. Periwayatan hadits sesuai dengan lafal ini sangat sedikit jumlahnya.
Ciri-ciri hadits yang diriwayatkan secara lafal ini, antara lain:
1)      dalam bentuk muta'abad (sanadnya memperkuat hadits lain yang sama sanadnya), misalnya hadits tentang adzan dan syahadat.
2)       hadits-hadits tentang doa; dan
3)       tentang kalimat yang padat dan memiliki pengertian yang mendalam (jawaami' al-kalimah)[3]
2.      Periwayatan dengan makna (riwayah b al-makna)
Yaitu hadits yang diriwayatkan sesuai dengan makna yang dimaksudkan oleh Nabi Muhammad saw. Dengan demikian dari segi redaksinya ada perubahan. Sebagian besar hadits Nabi saw. diriwayatkan dengan cara demikian. Sebab beliau memberi isyarat diperbolehkannya meriwayatkan hadits dengan riwayah bi al-ma'na
Syarat-syarat yang ditetapkan dalam meriwayatkan hadits secara makna ini cukup ketat, yaitu:
1)      periwayat haruslah seorang muslim, baligh, adil, dan dhobit (cermat dan kuat);
2)      periwayat hadits tersebut haruslah benar-benar memahami isi dan kandungan hadits yang dimaksud;
3)      periwayat hadits haruslah memahami secara luas perbedaan-perbedaan lafal sinonim dalam bahasa Arab;
4)       meskipun si pelafal lupa lafal atau redaksi hadits yang disampaikan Nabi Muhammad saw., namun harus ingat maknanya secara tepat.[4]
b.      Ilmu Hadits Dirayah
Ilmu hadits dirayah adalah bagian dari ilmu hadits yang mempelajari kaidah-kaidah untuk mengetahui hal ikhwal sanad, matan, cara-cara menerima dan menyampaikan hadits, sifat-sifat rawi dan lain-lain. Definisi ini sesuai dengan makna kata dirayah yang secara bahasa berarti pengetahuan dan pengenalan. Kegunaan ilmu ini tidak lain untuk mengetahui dan menetapkan diterima (maqbul) dan ditolak (mardud)nya suatu hadits. Ilmu hadits dirayah ini memiliki beberapa cabang yang berkaitan dengan sanad, rawi, dan matan hadits.

B.     KEUTAMAAN ILMU HADITS
Ketinggian dan kemulian suatu ilmu tergantung apa yang terkandung dalam ilmu itu sendiri, dia semakin mulia dan agung bila yang terkandung juga mulia dan agung. Dan ilmu hadits adalah termasuk ilmu yang paling mulia dan tinggi kedudukannya.[5]
Sufyan Tsauri rahimahullah berkata :
“ Saya tidak mengetahui apa yang lebih utama daripada ilmu hadits bagi orang yang mengharap wajah Allah. Karena sungguh manusia memerlukannya pada urusan makanan dan minuman mereka. Dia lebih mulia dari sholat sunnah ataupun puasa sunnah, karena ilmu hadits itu adalah fardu kifayah”.
Para imam dan ahli hadits meriwayatkan satu hadits yang shahih bahwa Nabi Sallallahu ‘alaihi wasallam bersabda :
لا تزال طائفة من أمتي ظاهرين على الحق حتى تقوم الساعة
“ Senantiasa akan ada dari umatku suatu golongan yang selalu kuat di atas kebenaran hingga datang hari kiamat” ( HR. Bukhari dan Muslim dan yang lainnya)
Para ulama dan ahli hadits menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan golongan pada hadits tersebut, mereka adalah ahli hadits.
Imam Ibnu al-Mubarok rahimahullah setelah menyebutkan hadits ini berkata :” Menurut saya mereka ( golongan itu) adalah para ahli hadits”.
Imam Ahmad ibn Hambal rahimahullah juga ditanya tentang hal ini, maka beliau berkata: “ Kalau golongan ini bukan para ahli hadits, maka saya tidak tahu siapa mereka”.
Begitu juga yang diutarakan oleh Ibnu al-Madini, Imam Bukhari, Ahmad ibn Sinan rahimahumullah dan yang lainnya, mereka semua mengatakan bahwa yang dimaksud golongan tersebut adalah para ahli hadits.
Syaikh Albani rahimahullah juga menukil bahwa seorang ahli ilmu dan termasuk ulama besar Hanafiyah yaitu Abu al-Hasanat Muhammad Abdul Hayyi rahimahullah berkata :
” Barangsiapa yang meneliti dengan obyektif dan menyelami lautan fiqh dan ushul dengan tanpa rasa kecondongan, niscaya dia akan tahu benar dan yakin bahwa mayoritas masalah – masalah furu ( cabang) dan ushul (pokok) yang diperselisihkan para ulama, maka madzhab ahli hadits lebih kuat daripada yang lainnya. Dan sungguh, ketika saya melewati banyak perbedaan pendapat, saya mendapati bahwa pendapat para ahli hadits dekat kepada keobyektifan. Sungguh mengagumkan! Kepada mereka harus berterima kasih. Kenapa tidak? Mereka adalah benar – benar pewaris para nabi dan wakil syariatnya. Semoga Allah mengumpulkan kita bersama mereka dan mematikan kita di atas kecintaan mereka dan sirah mereka ”
Syaikh Sa’d ibn Abdillah al-Humaid ditanya :” Mengapa kita belajar ilmu hadits?”
Beliau menjawab : “ Kita belajar ilmu hadits :
1.      Karena dia adalah ilmu yang paling mulia
2.      Karena ahli hadits, merekalah yang menjadi sinar yang terang benderang. Kalau kita lihat imam yang empat, kita temukan tiga dari mereka adalah merupakan imam yang terkenal dalam ilmu hadits. Imam Malik, kitab Muwatthanya penuh dengan hadits. Imam Syafi’i kitab al-Umm beliau penuh dengan hadits yang dipaparkan beliau lengkap dengan sanadnya, begitu juga kitab Risalah beliau.Dan salah satu murid beliau menyusun Musnad as- Syafi’i yang diambil dari hadits – hadits yang beliau riwayatkan di dalam kitab – kitab beliau, jadilah kitab itu terkenal dengan nama Musnad as-Syafi’i, begitu juga kitab Sunan.[6]
Adapun Imam Ahmad, ahli hadits yang teratas dan tidak diketahui bahwa Imam Ahmad menulis di bidang fiqih walaupun satu huruf, walau sudah diketahui bahwa beliau termasuk ahli fiqih. Beliau melarang murid – murid beliau menulis pendapat semata dan mendorong mereka untuk menulis hadits”. Wallahu a’lam

C.     DEFINISI MENURUT BAHASA DAN ISTILAH DARI;
a.       HADITS
Hadist atau al-hadist menurut bahasa al-jadid yang artinya sesuatu yang baru -lawan dari al-Qadim- artinya yang berarti menunjukkan kepada waktu yang  dekat atau waktu yang singkat. Hadist juga sering disebut sebagai al-khabar, yang berarti berita, yaitu sesuatu yang dipercakapkan dan dipindahkan dari seorang  kepada orang lain. Sedangkan menurut istilah (terminologi), para ahli memberikan definisi  (ta’rif) yang berbeda-beda sesuai latar belakang disiplin ilmunya. Seperti pengertian hadist menurut ahli ushul akan berbeda dengan pengertian yang  diberikan oleh ahli hadis.
Menurut ahli hadist pengertian hadist ialah segala perkataan Nabi SAW, perbuatan, dan hal ihwannya. Yang dimaksud dengan hal ihwal ialah segala yang diriwayatkan dari Nabi SAW yang berkaitan dengan himmah, karakteristik, sejarah kelahiran dan kebiasaan-kebiasaanya.
Ada juga yang memberikan pengertian lain, yaitu sesuatu yang disandarkan kepada Nabi SAW baik berupa perkataan, perbuatan, taqrir, maupun sifat beliau.
Tetapi sebagian muhaditssin berpendapat bahwa hadist mempunyai cakupan pengertian yang lebih luas, tidak terbatas pada apa yang di sampaikan kepada Nabi SAW saja, melainkan termasuk juga yang disandarkan kepada para sahabat dan tabiin. Sebagaimana di sebutkan oleh al-tirmisi;
 ''Bahwasanya hadist itu bukan hanya untuk sesuatu yang marfu', yaitu sesuatu yang disandarkan kepada Nabi SAW, melainkan bisa juga untuk sesuatu yang mauquf yaitu yang disandarkan kepada sahabat dan yang maqtu' yaitu yang di sandarkan kepada tabiin.''
Sementara para ulama ushul memberikan pengertian hadist adalah segala perkataan Nabi SAW, perbuatan, dan taqrirnya yang berkaitan dengan hukum syara' dan ketetapannya. Pengertian hadist menurut ahli ushul lebih sempit dibanding dengan pengertian hadist menurut ahli hadist. Menurut ahli ushul hadist adalah segala sesuatu yang bersumber dari Nabi SAW baik ucapan, perbuatan, maupun ketetapan yang berhubungan dengan hukum atau ketentuan-ketantuan Allah yang disyariatkan kepada manusia. Selain itu tidak bisa di katakan hadist

b.      SUNNAH
Sunnah menurut etimologi berarti cara yang bisa ditempuh baik ataupun buruk, sebagaimana sabda nabi:
"Barang siapa membuat inisiatif yang baik ia akan mendapatkan pahala dan pahala orang-orang yang mengerjakannya sesudahnya tanpa sedikitpun berkurang; dan barang siapa membuat inisiatif yang jelek, ia akan mendapatkan dosa dan dosa orang-orang yang mengerjakannya sesudahnya tanpa sedikitpun berkurang.'' (HR.MUSLIM)
Dalam al-Qur'an surat al-Kahfi (18):55, Allah berfirman;
"Dan tidak sesuatu apapun yang menghalangi manusia dari beriman, ketika petunjuk telah datang kepada mereka, dan memohon ampun kepada tuhanya, kecuali (keinginan menanti ) datangnya hukum (Allah yang telah berlaku pada) umat-umat terdahulu”.
Sedang sunnah menurut istilah, di kalangan ulama terdapat perbedaan pendapat. Hal ini disebabkan karena perbedaan latar belakang, persepsi, dan sudut pandang masing-masing terhadap diri Rasulullah SAW. Secara garis besarnya mereka terkelompok menjadi tiga golongan; Ahli Hadist, ahli Usul, dan ahli Fiqh.
Dapat diambil sebuah kesimpulan bahwa, sunnah cakupannya lebih luas di banding hadist, sebab sunnah mencakup perkataan, perbuatan dan penetapan (taqrir) Rasul, yang bisa di jadikan dalil hukum syar'i.
c.       KHABAR
Khabar menurut bahasa serupa dengan makna hadist, yakni segala berita yang disampaikan oleh seseorang kepada orang lain. Sedang pengertian khabar menurut istilah, antara satu ulama dengan ulama lainnya berbeda pendapat.
Ulama lain megatakan bahwa khabar adalah sesuatu yang datang selain dari Nabi SAW di sebut hadist. Ada juga yang mengatakan bahwa hadist lebih umum dan lebih luas dari pada khabar, sehingga tiap hadist dapat dikatakan khabar  tetapi tidak setiap khabar dikatakan hadist.

d.      ATSAR
Atsar menurut pendekatan bahasa sama artinya dengan khabar, hadits, dan sunnah. Sedangkan atsar menurut istilah  yaitu “segala sesuatu yang diriwayatkan dari sahabat, dan boleh juga disandarkan pada perkataan Nabi SAW.”
Jumhur ulama’ mengatakan bahwa atsar sama dengan khabar, yaitu sesuatu yang disandarkan kepada Nabi SAW, sahabat, dan tabi’in. Sedangkan menurut ulama’ Khurasan bahwa atsar untuk yang mauquf dan khabar untuk yang marfu’.

D.    DEFINISI HADITS MENURUT AHLI HADITS DAN AHLI FIQH ATAU USHUL FIQH
a.       Definisi Hadits menurut ahli hadits.
Ulama hadis mendefenisikan hadis sebagai berikut :

كُلُّ مَا اُثِرَ عَنِ النَّبِيّ صَلَّي اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ مِنْ قَوْلٍ اَوْ فِعْلٍ اَوْ تَقْرِيْرٍ اَوْ صِفَةٍ خَلْقيَّةٍ اُوْ خُلُقِيَّةٍ
Artinya : Segala sesuatu yang diberitakan Nabi SAW. Baik berupa sabda, perbuatan, taqrir, sifat-sifat maupun hal ihwal.
Demikian pengertian hadis secara terminologi bila ditinjau oleh aliran ilmu hadis. Maka akan ada perberdaan dari pengertian menurut aliran ilmu yang lain.
b.      Definisi Hadits menurut para Ushul Fiqh.
Menurut istilag ahli ushul fiqh, pengertian hadis adalah :
Hadis yaitu segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW, selain Al-Quran Al-Karim, baik berupa perkataan,perbuatan maupun taqrir Nabi yang perpangku paut dengan hukum syara.
Tidak termasuk dalam istilah hadis adalah ssuatu yang tidak bersangkut paut denga hukum, seperti urusan pakaian yang merupakan bagian dari kebudayaan. Akan tetapi,dalam cara-cara berpakain sperti menutupi pakaian seperti menutup aurat merupakan bagian dari hadis karena tuntunan Islam. Itu sebabnya, dalam kajian fiqh, pakaian termasuk jabaliyyah, yaitu sebagian merupakan tuntunan kebudayaan, sebagaian lagi tuntunan Syariat Islam.
c.       Definisi Hadits menurut Ulama’ Fiqh.
Adapun menurut istilah para fuqaha, hadis adalah :

كل ما ثبت عن النني ولم يكن من باب الفرض ولا الواجب

artinya : segeala sesuatu yang ditetapkan Nabi SAW, yang tidak bersangkut paut dengan masalah-masalah fardhu atau wajib.

E.     OBYEK, PELETAK, FAIDAH ILMU HADITS
Obyek ilmu hadis adalah pribadi Rasulullah Saw, baik berupa perkataan, perbuatan atau ketetapan Nabi. Faedah ilmu hadis adalah berupaya untuk menjaga sunnah nabawiyyah memperdalam dan menyebarkannya kepada masyarakat Islam dan juga untuk menjaga eksistensi hadis. Tokoh paling berjasa penghimpun hadis adalah Muhammad Ibn Syihab al-Zuhri pada masa pemerintahan Umar Ibn Abdul Aziz. Dia adalah orang yang pertama kali membukukan dan mengumpulkan hadis atas perintah khalifah Umar Ibn Abdul Aziz. Dia pernah menulis surat ke berbagai penjuru negara yang isinya,
“Hendaklah kalian memperhatikan hadis atau sunnah Rasulullah, karena itu tulislah hadis tersebut, karena saya takut ilmu itu hilang dan meninggalnya para ulama
’’.
Adapun Peletak ilmu hadits adalah alqodi abul hasan ibn khallad.

F.      PERBEDAAN HADITS NABAWI, HADITS QUDSI DAN AL-QUR’AN
Alquran adalah kalam atau firman Allah yang diturunkan kepada Muhammad saw. yang pembacaannya merupakan ibadah. Dalam definisi kalam merupakan kelompok jenis yang meliputi segala kalam. Dan, dengan menggabungkannya kepada Allah (kalamullah) berarti tidak termasuk semua kalam manusia, jin, dan malaikat.[7]
Hadis nabawi itu ada dua. Pertama, tauqifi. Yang bersifat tauqifi yaitu yang kandungannya diterima oleh Rasulullah saw. dari wahyu. Lalu, ia menjelaskan kepada manusia dengan kata-katanya sendiri. Bagian ini meskipun kandungannya dinisbahkan kepada Allah, tetapi dari segi pembicaraan lebih layak dinisbahkan kepada Rasulullah saw., sebab kata-kata itu dinisbahkan kepada yang mengatakannya meskipun di dalamnya terdapat makna yang diterima dari pihak lain.
Kedua, taufiqi. Yang bersifat taufiqi yaitu yang disimpulkan oleh Rasulullah saw. menurut pemahamannya terhadap Alquran, karena ia mempunyai tugas menjelaskan Alquran atau menyimpulkannya dengan pertimbangan dan ijtihad. Bagian kesimpulan yang bersifat ijitihad ini diperkuat oleh wahyu jika ia benar. Dan, bila terdapat kesalahan di dalamnya, turunlah wahyu yang membetulkannya. Bagian ini bukanlah kalam Allah secara pasti.[8]
Dari sini, jelaslah bahwa hadis nabawi dengan kedua bagiannya yang tauqifi atau yang taufiqi dengan ijtiihad yang diakui dari wahyu itu bersumber dari wahyu. Inilah makna dari firman Allah tentang Rasul-Nya, “Dia (Muhammad) tidak berbicara menurut hawa nafsunya. Apa yang diucapkannya itu tidak lain hanyalah wahyu yang diturunkan kepadanya.” (An-Najm: 3–4).
Hadis qudsi itu maknanya dari Allah, ia disampaikan kepada Rasulullah saw. melalui salah satu cara penuturan wahyu, sedang lafalnya dari Rasulullah saw. Inilah pendapat yang kuat. Dinisbahkannya hadis qudsi kepada Allah Taala adalah nisbah mengenai isinya, bukan nisbah mengenai lafalnya. Sebab, seandainya hadis qudsi itu lafalnya juga dari Allah, tidak ada lagi perbedaan antara hadis qudsi dan Alquran, dan tentu pula gaya bahasanya menuntut untuk ditantang, serta membacanya pun akan dianggap ibadah.
Mengenai hal ini timbul dua macam syubhat.
Pertama, bahwa hadis nabawi juga wahyu secara maknawi yang lafalnya dari Rasulullah saw., tetapi mengapa hadis nabawi tidak kita namakan juga hadis qudsi. Jawabnya adalah, kita merasa pasti tentang hadis qudsi bahwa ia diturunkan maknanya dari Allah karena adanya nas syara yang menisbahkannya kepada Allah, yaitu kata-kata Rasulullah saw. Allah Taala telah berfirman, atau Allah Taala berfirman. Itu sebabnya kita namakan hadis itu hadis qudsi. Hal ini berbeda dengan hadis nabawi, karena hadis nabawi tidak memuat nas seperti ini. Di samping itu, masing-masing isinya boleh jadi diberitahukan kepada Nabi melalui wahyu, yakni secara tauqifi, namun mungkin juga disimpulkan melalui ijtihad, yaitu secara taufiqi. Oleh sebab itu, kita namakan masing-masing dengan nabawi sebagai terminal nama yang pasti. Seandainya kita mempunyai bukti untuk membedakan mana wahyu tauqifi, tentulah hadis nabawi itu kita namai pula hadis qudsi.
Kedua, apabila lafal hadis qudsi itu dari Rasulullah saw., maka dengan alasan apakah hadis itu dinisbahkan kepada Allah melalui kata-kata Nabi: Allah Taala telah berfirman atau Allah Taala berfirman. Jawabnya ialah bahwa hal yang demikian ini biasa terjadi dalam bahasa Arab, yang menisbahkan kalam berdasarkan kandungannya, bukan berdasarkan lafalnya. Misalkan ketika kita mengubah sebait syair menjadi prosa, kita katakana bahwa penyair berkata demikian. Juga ketika kita menceritakan apa yang kita dengar dari seseorang, kita pun mengatakan si Fulan berkata demikian. Begitu juga Alquran menceritakan tentang Musa, Firaun, dan sebagainya, isi kata-kata mereka dengan lafal yang bukan lafal mereka dan dengan gaya bahasa yang bukan gaya bahasa mereka, tetapi dinisbahkan kepada mereka.
“Dan ingatlah ketika Tuhanmu menyeru Musa (dengan firmannya): ‘Datangilah kaum yang zalim itu, (yaitu) kaum Firaun. Mengapa mereka tidak bertakwa? Berkata Musa: ‘Ya Tuahnku, aku takut bahwa mereka akan mendustakan aku. Dan, (karena itu) sempitlah dadaku dan tidak lancar lidahku, maka utuslah (Jibril) kepada Harun. Dan, aku berdosa terhadap mereka, maka aku takut mereka akan membunuhku.’ Allah berfirman, ‘Jangan takut (mereka tidak akan bisa membunuhmu), maka pergilah kami berdua dengan membawa ayat-ayat kami (mukjizat-mukjizat); sesungguhnya kami bersamamu mendengarkan (apa-apa yang mereka katakana), maka datanglah kamu berdua kepada Firaun dan katakanlah olehmu, ‘Sesungguhnya kami adalah rasul Tuhan semesta alam, lepaskanlah Bani Israil (pergi) beserta kami.’ Firaun menjawab, ‘Bukankah kami telah mengasuhmu di antara (keluarga) kami, waktu kamu masih kanak-kanak dan kamu tinggal bersama kami beberapa tahun dari umurmu. Dan, kamu telah berbuat sesuatu perbuatan yang kamu lakukan itu dan kamu termasuk golongan orang-orang yang tidak membalas guna.’ Berkata Musa, ‘Aku telah melakukannya sedang aku di waktu itu termasuk orang-orang yang khilaf. Lalu, aku lari meninggalkan kamu ketika aku takut kepadamu, kemudian Tuhanku memberikan kepadaku ilmu serta Dia menjadikanku salah seorang di antara rasul-rasul. Budi yang kamu limpahkan kepadaku itu adalah (disebabkan) kamu telah memperbudak Bani Israil.’ Firaun bertanya, ‘Siapa Tuhan semesta alam itu?’ Musa menjawab, ‘Tuhan Pencipta langit dan bumi dan apa-apa yang di antara keduanya (itulah Tuhanmu), jika kamu sekalian (orang-orang) mempercayainya’.” (As-Syuara: 10–24).




BAB III PENUTUP
A.    KESIMPULAN
Ilmu hadits riwayah adalah ilmu hadits yang mempelajari cara-cara penukilan, pemeliharaan dan penulisan hadits. Dan Ilmu hadits dirayah adalah bagian dari ilmu hadits yang mempelajari kaidah-kaidah untuk mengetahui hal ikhwal sanad, matan, cara-cara menerima dan menyampaikan hadits, sifat-sifat rawi dan lain-lain. Sufyan Tsauri rahimahullah berkata mengenai keutamaan hadits sebagai berikut :
“ Saya tidak mengetahui apa yang lebih utama daripada ilmu hadits bagi orang yang mengharap wajah Allah. Karena sungguh manusia memerlukannya pada urusan makanan dan minuman mereka. Dia lebih mulia dari sholat sunnah ataupun puasa sunnah, sebab karena ilmu hadits merupakan salah satu hal pokok fardu kifayah”.
Mengenai obyek ilmu hadis adalah pribadi Rasulullah Saw, baik berupa perkataan, perbuatan atau ketetapan Nabi. Sedangkan, Peletak ilmu hadits adalah alqodi abul hasan ibn khallad.
Alquran adalah kalam atau firman Allah yang diturunkan kepada Muhammad saw. yang pembacaannya merupakan ibadah. Dalam definisi kalam merupakan kelompok jenis yang meliputi segala kalam. Dan, dengan menggabungkannya kepada Allah (kalamullah) berarti tidak termasuk semua kalam manusia, jin, dan malaikat. Adapun  Hadis qudsi itu maknanya dari Allah, ia disampaikan kepada Rasulullah saw. melalui salah satu cara penuturan wahyu, sedang lafalnya dari Rasulullah saw.

B.     KRITIK DAN SARAN
Alhamdulillah, atas selesainya makalah ini Semoga  dapat bermanfaat bagi kita semua. Amin.  Tiada gading yang tak retak, tentu tidak menutup kemungkinan, banyak persoalan seputar tema yang diangkat yang belum tuntas, sehingga perlu tinjauan kembali dari teman-teman, dan lebih khusus dosen pemandu untuk memberikan kritik dan saran yang membangun demi perbaikan makalah ini .



DAFTAR PUSTAKA
·         Mudasir, Ilmu Hadis, Bandung: CV Pustaka Setia, 1999.
·         Pengantar Studi Al-Qur’an dan Hadits, Teras: Yogyakarta.
·         Abu Maryam, Maraji : Silsilah Ahadits as-Shohihah oleh Syaikh al-Albani : I/545-546,Fatawa Haditsiyah oleh Syaikh Sa’d ibn Abdillah al-Humaid.
·         Studi Ilmu-Ilmu Quran, terjemahan dari Mabaahits fii ‘Uluumil Quraan, Manna’ Khaliil al-Qattaan, pustaka media; semarang.
·         http://www.alislam.or.id






[1] Mudasir, Ilmu Hadis, Bandung: CV Pustaka Setia, 1999, hal 23.
[2] Mudasir, Ilmu Hadis, Bandung: CV Pustaka Setia, 1999, hal 28.
[3] Pengantar Studi Al-Qur’an dan Hadits, Teras: Yogyakarta, hal 47.
[4] Pengantar Studi Al-Qur’an dan Hadits, Teras: Yogyakarta, hal 52.
[5] Abu Maryam, Maraji : Silsilah Ahadits as-Shohihah oleh Syaikh al-Albani : I/545-546,Fatawa Haditsiyah oleh Syaikh Sa’d ibn Abdillah al-Humaid : 15.
[7] Studi Ilmu-Ilmu Quran, terjemahan dari Mabaahits fii ‘Uluumil Quraan, Manna’ Khaliil al-Qattaan, pustaka media; semarang, hal. 25.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

NEGARA TELAH MERDEKA, PENDIDIKAN MASIH JAUH DARI KATA MERDEKA.

NEGARA TELAH MERDEKA, PENDIDIKAN MASIH JAUH DARI KATA MERDEKA. Ditinjau dari segi bahasa, pendidikan berasal dari kata Yunani yaitu pae...