BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Perjalanan Bangsa Indonesia dalam kanca perpolitikan dunia
untuk mempertahankan keutuhan Bangsa agar tetap bersatu dalam menghadapi
tantangan yang cukup berat. Dewasa ini Bangsa Indonesia tengah menghadapi
masalah yang begitu rumit, di suatu sisi adanya kecendrungan kehidupan yang
semakin global seolah dunia ini tanpa ada batas, sementara di sisi lain adanya
realita dalam masyarakat, jiwa dan semangatnya mulai mengendor. Masyarakat
kotak-kotak dalam label etnik, golongan, agama dan ras yang berpotensi
menimbulkan konplik yang menuju perpecahan bangsa dan Negara kesatuan repoblik
Indonesia.
Kesepakatan politis pancasila sebagai dasar Negara sudah
final, namun dalam kenyataanya Bangsa Indonesia yang hidup dalam kancah
percaturan idiologi besar dunia seperti idiologi Sosisalis, Fasis dan
sebagainya, dimana idiologi tersebut menjadi pembanding idiologi pancasila.
Mencermati hal tersebut pancasila sebagai suatu sistem, perlu dianalisi secara
kritis sehinga menguatkan keyakinan bahwa nilai-nilai Ketuhanan, Kemanusiaan,
Persatuan, Kerakyatan dan Keadilan unsur
sangat penting bagi manusia.
Pada akhirnya diharapkan nilai-nilai tersebut meresap
didalam segenap jiwa Bangsa Indonesia sebagai suatu yang penting bagi kehidupan
berbangsa dan bernegara. Lebih jauh kita akan mempunyai kepercayaan diri dan
keyakinan untuk memantapkan eksistensi denagn jati diri Pancasila sebagai
idiologi nasional ditengah-tengah percaturan idiologi-idiologi internasional.
B.
Rumusan Masalah
1. Mengidentifikasi
Pengertian Filsafat.
2. Mengidentifikasi
Aliran-Aliran Filsafat.
3. Mengidentifikasi
Kesatuan Sila-Sila Pancasila Sebagai Suatu Sistem.
4. Mengidentifikasi
Kesatuan Pancasila.
C.
Tujuan Pembahasan
1. Memberikan
Pemahaman Pengertian Filsafat.
2. Memberikan
Pemahaman Aliran-Aliran Filsafat.
3. Memberikan
Pemahaman Kesatuan Sila-Sila Pancasila Sebagai Suatu Sistem.
4. Memberikan
Pemahaman Kesatuan Pancasila.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Filsafat
Dari segi etimologis,
sebelum dibahas pengertian filsafat secara material maka dipandang pelu untuk
membahas terlabih dahulu makna dan arti istilah “filsafat”. Pada umumnya para
filsuf maupun para ahli filsafat mempunyai tinjauan ang senada dalam pengertian
istilah filsafat, walaupun secara harafiah mempunyai perdebatan istilah
“filsafat” dalam bahasa indonesia mempunyai padanan “falsafah” dalam kata arab. Sedangkan menurut kata
inggris “philosophy” kata latin “philosophia” kata belanda “philosophie”, kata
jerman “philosophier”, kata pperancis “philosophie”,yang kesemuanya itu
diterjemaahkan dalam kata indonesia “filsafat”. “philosophia” ini adalah kata
benda yang merupakan hasil dari kegiatan “philosophien” sebagai kata kerjanya.
Sedangkan kegiatan ini dilakukan oleh philosophos atau filsuf sebagai subyek
yang berfilsafat. Menurut harun nasution, istilah “falsafah” berasal dari kata
yunani “philein” dan kata ini mengandung arti “cinta” dan “sophos” dalam arti
hikmah.
Istilah “filsafat”
berasal dari bahasa yunani bangsa yunanilah yang mula-mula berfilsafat seperti
lazimnya dipahami orang sampai sekarang. Kata ini bersifat majemuk, berasal
dati kata “philos” yang berarti sahabat dan bahasa belanda, atau wisdom kata
inggris, dan hikmat menurut kata arab. Maka philosophia menurut arti katanya
berarti cinta pada pengetahuan yang bijaksana, Oleh karena itu mengyahakannya. Jadi
tterdapat sedikit perbedaan arti, disatu pihak menyatakan bahwa filsafat
merupakan bentuk majemuk dari “philein” dan “sophos”, (Nasution,1973) dilain
pihak filsafat dinyatakan dalam bentukmajemuk dari “philos” dan “sophia”
(Gazalba,1997), namun secara semantis mengandung makna yang sama.
Dengan demikian istilah
“filsafat” dan “sophos” mengandung arti, mmencintai hal-hal yang sifatnya
bijaksana, sedangkan “filsafat” yang merupakan bentuk majemuk dari “philos” dan
“sophia” berkonotasi teman dari kebijaksanaan.
Sementara ahli ada yang
menyatakan bahwa “sophia” arti yang lebih luas dari kebijaksanaan. Arti
“sophia” meliputi pula kerajinan (creftsmanship) sampai kebenaran pertama
(first truth), “sophia” kadang-kadang juga mengandung makna pengetahuan yang
luas (wide knowledge), kebijaksanaan (intelectual virtues). Petimbangan yang
sehat (sound judgement), kecerdikan dalam memutuskan dalam hal-hal yang praktis
(shiwdness in practical decision).
Berikut
ini disajikan pengertian filsafat menurut beberapa ahli;
Plato ( 428 -348 SM ) : Filsafat tidak lain dari pengetahuan
tentang segala yang ada.
Aristoteles ( (384 – 322 SM) : Bahwa
kewajiban filsafat adalah menyelidiki sebab dan asas segala benda. Dengan
demikian filsafat bersifat ilmu umum sekali. Tugas penyelidikan tentang sebab
telah dibagi sekarang oleh filsafat dengan ilmu.
Cicero ( (106 – 43 SM ) : filsafat
adalah sebagai “ibu dari semua seni“ ( the mother of all the arts“ ia juga
mendefinisikan filsafat sebagai ars vitae (seni kehidupan )
Johann Gotlich Fickte (1762-1814 ) :
filsafat sebagai Wissenschaftslehre (ilmu dari ilmu-ilmu, yakni ilmu umum, yang
jadi dasar segala ilmu. Ilmu membicarakan sesuatu bidang atau jenis kenyataan.
Filsafat memperkatakan seluruh bidang dan seluruh jenis ilmu mencari kebenaran
dari seluruh kenyataan.
Paul Nartorp (1854 – 1924 ) :
filsafat sebagai Grunwissenschat (ilmu dasar hendak menentukan kesatuan
pengetahuan manusia dengan menunjukan dasar akhir yang sama, yang memikul
sekaliannya .
Imanuel Kant ( 1724 – 1804 ) :
Filsafat adalah ilmu pengetahuan yang menjadi pokok dan pangkal dari segala
pengetahuan yang didalamnya tercakup empat persoalan.
Jadi,
istilah filsafat pada mulanya merupakan suatu istilah yang secara umum
dipergunakan untuk menyebutan usaha kearah keutamaan mental.Dari semua pengertian filsafat secara terminologis di atas,
dapat ditegaskan bahwa filsafat adalah ilmu pengetahuan yang menyelidiki dan
memikirkan segala sesuatunya secara mendalam dan sungguh-sungguh, serta radikal
sehingga mencapai hakikat segala situasi tersebut.[1]
B.
Ciri-ciri Berfikir Secara Filsafat
Adapun ciri-ciri
berpikir secara filsafat ialah sebagai berikut ;
1.
Berpikir secara menyeluruh. Artinya,
Pemikiran yang luas karena tidak membatasi diri dan bukan hanya ditinjau dari
satu sudut pandang tertentu. Pemikiran kefilsafatan ingin mengetahui hubungan
antara ilmu yang satu dengan ilmu-ilmu yang lain, hubungan ilmu dan moral, seni
dan tujuan hidup. Contoh: ketika kita mempelajari tentang Karma Phala (hasil
perbuatan) didalamnya pasti terdapat perbuatan baik dan buruk kemudian untuk
mengetahui hasilnya dilakukan perbandingan dengan angka (misalnya; perbuatan
baik 75% dan buruk 25%). Jika seseorang hanya memandang dari satu sudut pandang
saja, Karma Phala selalu dikaitkan
dengan Agama saja, akan tetapi jika dipandang secara menyeluruh didalamnya
terdapat perbandingan perbuatan baik dan buruk yang merupakan unsur ilmu
Matematika.
2.
Berpikir secara mendasar. Seorang
filosof tidak percaya begitu saja kebenaran ilmu yang diperolehnya. Ia selalu
ragu dan mempertanyakannya; Mengapa ilmu dapat disebut benar?, Bagaimana proses
penilaian berdasarkan kriteria tersebut dilakukan?, Apakah kriteria itu sendiri
benar? Lalu benar itu sendiri apa? Seperti sebuah lingkaran dan
pertanyaan-pertanyaan pun selalu muncul secara bergantian. Artinya, pemikiran
yang dalam sampai kepada hasil yang fundamental atau esensial obyek yang
dipelajarinya sehingga dapat dijadikan dasar berpijak bagi segenap nilai dan
keilmuan. Jadi, tidak hanya berhenti pada periferis (kulitnya) saja, tetapi
sampai tembus ke kedalamannya. Contoh sederhana, misalnya kita menemukan bunga
mawar merah muda di sebuah taman diantara bunga-bunga melati. Jika kita hanya
melihat sekilas bunga mawar tersebut, mungkin hal itu akan menjadi sangat
sederhana. Akan tetapi, akan sangat berbeda jika kita benar-benar mau
memikirkannya. Semuanya tak akan tampak mudah dan sederhana karena akan muncul
pertanyaan-pertanyaan dalam pikiran kita yaitu siapa yang menanam bunga itu dan
untuk apa bunga itu ditanam?. Padahal diantaranya sudah banyak sekali bunga
melati. Contoh lain, misalnya, seorang siswa yang berpikir bagaimana agar bisa
lulus dalam Ujian Akhir Nasional (UAN),
maka siswa ini tidaklah sedang berfilsafat atau berfikir secara filsafat
melainkan berfikir biasa (mendasar) yang jawabannya tidak memerlukan pemikiran
yang mendalam dan menyeluruh.
3.
Berpikir secara spekulatif. Seorang
filosof melakukan spekulasi terhadap kebenaran. Sifat spekulatif itu pula
seorang filosof terus melakukan uji coba lalu melahirkan sebuah pengetahuan dan
dapat menjawab pertanyaan terhadap kebenaran yang dipercayainya. Contohnya:
sebelum ditemukan lampu pijar, Thomas Alva Edison selalu melakukan uji coba,
meskipun lebih dari 99 kali mengalami kegagalan dan membutuhkan waktu beberapa
tahun, namun cara berpikirnya yang pantang menyerah ahirnya menciptakan lampu
pijar yang mempermudah penerangan semua umat manusia.
4.
Berpikir secara sistematik. Dalam
mengemukakan jawaban terhadap suatu masalah, para filsuf memakai
pendapat-pendapat sebagai wujud dari proses befilsafat. Pendapat-pendapat itu
harus saling berhubungan secara teratur dan terkandung maksud dan tujuan
tertentu. Contoh: saat seseorang mengeyam pendidikan, ia harus menempuh sesuai
dengan umur dan tahapannya, misalnya agar bisa SMA, seseorang harus menempuh SD
dan SMP terlebih dahulu karena merupakan runtutan atau tahapan dari tingkatan
pendidikan.
5.
Berpikir dengan pemikiran yang
bertanggungjawab. Pertanggungjawaban yang pertama adalah terhadap hati
nuraninya sendiri. Seorang filsuf seolah-olah mendapat panggilan untuk
membiarkan pikirannya menjelajahi kenyataan. Namun, fase berikutnya adalah
bagaimana ia merumuskan pikiran-pikirannya itu agar dapat dikomunikasikan pada
orang lain serta dipertanggungjawabkan. Contoh: ketika menjawab sebuah
pertanyaan baik dalam sebuah buku, forum atau diskusi haruslah sesuai dengan
referensi yang benar yang dapat dibuktikan orang lain dan diimbangi dengan pertanggungjawaban
atas semua perkataan atau pendapat yang telah dilontarkan.[2]
C.
Aliran-Aliran Filsafat
Sebagaimana ilmu
lainya filsafat memiliki cabang-cabang yang berkembang sesuai dengan persoalan
filsafat yang dikemukakannya. Filsafat timbul karena adanya persoalan-persoalan
yang dihadapi manusia. Pesoalan-persoalan tersebut kemudian diupayakan
pemecahannya oleh para filsuf secara sistematis dan rasional. Maka muncullah
cabang-cabang filsafat tersebut dan berkembang terus sesuai pemikiran dan
problema yang dihadapi oleh manusia.
Cabang-cabang
filsafat yang tradisional terdiri atas empat yaitu ; 1) logika, 2) metafisika,
3) epistimologi, dan 4) etika. Namun demikian berangsur-angsur berkembang
sejalan dengan persoalan yang dihadapi oleh manusia. Maka untuk mempermudah
pemahaman kita perlu diytrakan cabang-cabang filsafat yang pokok;
1.
Metafisika; yang berkaitan
dengan persoalan tentang hakikat yang ada (segala sesuatu yang ada)
2.
Epistimologi; yang berkaitan
dengan persoalan hakikat pengetahuan.
3.
Metodologi; yang berkaitan
dengan persoalan hakikat metode ilmiah.
4.
Logika; Yng berkaitan
dengan persoalan penyimpulan.
5.
Etika; yang berkaitan dengan persoalan moralitas.
6.
Estetika; yang berkaitan
dengan persoalan keindahan.
D.
Kesatuan Sila-Sila Pancasila Sebagai
Suatu Sistem
Pancasila yang
terdiri atas lima sila pada hakikatnya merupakan suatu sistem filsafat.
Pengertian sistem adalah satu kesatuan bagian-bagian yang saling berhubungan,
saling bekerja sama untuk satu tujuan tertentu dan secara keseluruhan.
Merupakan satu kesatuan yang utuh. Sistem lazimnya memililki ciri-ciri sebgai
berikut ;
1.
Suatu kesatuan bagian-bagian.
2.
Bagian-bagian tersebut mempunyai
funsi sendiri-sendiri.
3.
Saling berhubungan dan saling
ketergantungan.
4.
Kaseluruhannya dimaksudkan untuk mencapai
suatu tujuan tertentu (tujuan sistem)
5.
Terjadi dalam suatu lingkungan
yang kompleks.[3]
Pancasila yang
terdiri atas bagian-bagian yaitu sila-sila pancasila setiap sila pada
hakikatnya merupakan suatu asas sendiri, fungsi sendiri-sendiri namun secara
kseluruhan nerupakan suatu sistem sistematis.
Adapun pembagian
pancasila sebagai suatu sistem ialah sebagai berikut ;
1. Pancasila
Sebagai Sistem Filsafat
Secara etimologi kata Etika berasal dari bahasa Yunani Kuno
yaitu Etos, dalam bentuk tunggal mempunyai banyak pengertian : tempat tinggal
yang biasa, padang rumput, kandang, kebiasaan, ahlak, watak perasaan, sikap dan
cara berfikir. Dalam bentuk jamak artinya adalah adat kebiasaan, inilah yang
melatarbelakangi terbentuknya istilah Etika.
Pancasila sebagai pandangan hidup
merupakan cerminan nilai-nilai yang diyakini kebenaranya, sehingga memberikan
motivasi untuk mewujudkan realitas dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini
merupakan system etika bangsa Indonesia disamping sebagai pandangan hidup
bangsa Indonesia. Nilai-nilai pancasila sudah ada sejak bangsa Indonesia ada,
namun pancasila belum dirumuskan secara sistematis, misalnya nilai ketuhanan,
nilai persatuan, nilai kemanusiaan, nilai musyawara untuk menuju mufakat dan
nilai keadilan.
2.
Pancasila Sebagai Sistem Etika Politik
Kata politik secara etimologis
berasal dari bahasa Yunani yaitu Politeia, yang akar katanya adalah Polis, yang
berarti kesatuan masyarakat yang berdiri sendiri, yaitu Negara dan tela berarti
urusan. Dalm bahasa Indonesia politik mempunyai kepentingan umum warga Negara
dalam suatu bangsa, politik merupakan suatu rangkaian asas, jalan, arah dan
medanya yang berfungsi memberikan pertimbanga dalam melaksanakan asas, jalan
dan srah tersebut sebaik-baiknya.
Politik secara umum menyangkut
proses penentuan tujuan Negara dan cara melaksanakanya. Pelaksanaan tujuan
tersbut memerlukan kebijakan-kebijakan umum yang menyangkut pengaturan dan
pembagian alokasi sumber-sumber yang ada serta memerlukan kekuasaan dan wewenag
guna pembinaan kerja sama dan menyelsaikan konflik yang mungkin muncul dalam
pencapain tujuan.
Etika merupakan filsafat moral atau
kesusilaan yang berdasar pada keperibadian, idiologi, jiwa dan pandangan
bangsa. Hakekat etika pancasila berpedoman pada norma-norma yang bersumber dari
pancasila. Berkaitan dengan aplikasi kehidupan dalam aspek politik tentunya
kita harus berpedoaman pada etika politik sehingga dalam kehidupan berbangsa
dan bernegara tercipta suasana yang kondusif dan perdamaian.
Sebagai dasar filsafat Negara
pancasila tidak hanya merupakan sumber peraturan perundang-undangan, melainkan
merupakan sumber moralitas terutama dalam hubunganya dengan legitimasi
kekuasaan, hokum sebagai kebijakan dalam pelaksanaan dan penyelenggaran Negara.
Itulah yang mencerminkan nilai-nilai pancasila merupakan etika politik.
E.
Kesatuan Sila-Sila Pancasila
1.
Susunan kesatuan sila-sila
pancasila yang bersifat organis
Isi sila-sila
pancasila pada hakikatnya merupakan suatu kesatuan dasar filsafat negara
indonesia terdiri atas lima sila yang masing-masing merupakan asa peradaban,
namun demikian sila-sila pancasila itu merupakan suatu kesatuan dan keutuhan
yaitu setiap sila merupakan unsur (bagian yang mutlak) dari pancasila. Maka
pancasila merupakan satu kesatuan yang majemuk tunggal. Konsekuensinya setiap
sila tidak dapat berdiri sendiri-sendiri terlepas dari sila-sila lainya serta
diantara sila satu dan lainya tidak saling bertentangan.
Kesatuan
sila-sila pancasila yang bersifat oganis tersebut pada hakikatnya secara
filosofis bersumber pada hakikat dasar antologis manusia sebagai pendukung dari
inti, isi dari sila-sila pancasila yaitu hakikat manusia ‘monopltiraliss’ yang
memiliki unsur-unsur susunan kodrad jasmani, rohani ‘sifat kodrad’ individu
makhluk sosial dan ‘kedudukan kodrad sebagai pribadi berdiri sendiri makhluk
tuhan yang maha esa.
2.
Susunan kesatuan pancasila yang
bersifat hirarkhis dan berbentuk piramidal.
Susunan
pancasila adalah hirarkhis dan mempunyai bentuk piramidal. pengertian
matematika piramidal digunakan untuk menggambar hubungan hirarkhi sila-sila
dari pancasila dalam urut-urutan luas (kuantitas) dan juga dalam hal
sifat-sifatnya (kualitas). Kalau dilihat dari intinya, urutan-urutan lima sila
menunjukan suatu rangkaian tingkat dalam luasnya dan isi sifatnya, merupakan
penghususan dari sila-sila yang dimukanya. Jika urutan lima sila dianggap
mempunyai maksud demikian, maka diantara lima sila ada hubungan yang mengikat
yang satu kepada yang lain sehingga pancasila merupakan suatu kesatuan
keseluruhan yang bulat. Andaikata urut-urutan itu dipandang sebagai tidak
mutlak. Diantara satu sila dengan sila lainnya tidak ada sangkut pautnya, maka
pancasila it menjadi terpecah-pecah, oleh karena itu, tidak dapat dipergunakan
sebagai suatu asas kerohanian bagi negara. Jikalau tiap-tiap sila dapat
diartika dalam bermacam-macam maksud, sebenarnya lalu sama saja dengan tidak
ada pancasila.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
filsafat adalah ilmu pengetahuan yang menyelidiki dan
memikirkan segala sesuatunya secara mendalam dan sungguh-sungguh, serta radikal
sehingga mencapai hakikat segala situasi tersebut.
Pancasila sebagai suatu kesatuan
yang menjadikannya sebagai sistem filsafat memiliki dasar ontologis, dasar
epitemologis, dan dasar aksiologis. Dasar ontologis Pancasila yaitu manusia,
dasar epistemologinya sumber pengetahuan, teori pengetahuan, dan watak
pengetahuan manusia, sedangkan dasar aksiologisnya adalah nilai-nilai dari
Pancasila itu sendiri. Selain itu, Pancasila mempunyai lima sila yang setiap
silanya mempunyai arti masing-masing. Sila kelima Pancasila merupakan sila yang
didasari oleh keempat sila sebelumnya dan merupakan cita-cita bangsa Indonesia
yakni terciptanya keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
·
Pendidikan
pancasila, prof. Dr. Kaelan, m.s., paradigma yogyakarta, edisi revisi 2014.
·
Kuntho.
2010. Ciri-ciri Berfikir Filsafat (Online). http://edukonten.blogspot.com. Diakses pada tanggal 06 Februari 2013
·
Nocturna.
2011. Ciri – ciri Penalaran Filosofis (Online). http://jintut-nocturna.blogspot.com. Diakses pada tanggal 06 Februari 2013
[2]
Kuntho. 2010. Ciri-ciri Berfikir Filsafat (Online). http://edukonten.blogspot.com.
Diakses pada tanggal 06 Februari 2013
[3]
Nocturna. 2011. Ciri – ciri Penalaran Filosofis (Online). http://jintut-nocturna.blogspot.com.
Diakses pada tanggal 06 Februari 2013