Jumat, 15 September 2017

NEGARA TELAH MERDEKA, PENDIDIKAN MASIH JAUH DARI KATA MERDEKA.

NEGARA TELAH MERDEKA, PENDIDIKAN MASIH JAUH DARI KATA MERDEKA.
Ditinjau dari segi bahasa, pendidikan berasal dari kata Yunani yaitu paedagogy yang memiliki arti seorang anak yang selalu diantar dan dijemput sekolah oleh seorang pelayan. Sedangkan pelayannya disebut paedagogos. Dalam bahasa inggris, pendidikan berasal dari kata to educate yaitu sebuah usaha mengambil sesuatu dari dalam. Usaha mengambil sesuatu dari dalam itu adalah menggali potensi-potensi yang dimiliki oleh manusia sehingga dapat bermanfaat bagi kehidupannya kelak ketika dewasa, dan mampu bersosialisai yang baik dengan masyarakat dan lingkungan sekitar.
Menurut as-Syaebani pendidikan adalah usaha untuk mengubah tingkah laku manusia menuju yang lebih baik. menurut Ki Hajar Dewantara pendidikan adalah pedoman untuk bertingkah laku. Jadi untuk memiliki tingkah laku yang baik, maka pendidikannya juga harus baik. Jika masyarakat memiliki tingkah laku yang baik maka dampaknya juga akan mengenai terhadap sebuah negara. Dalam negara akan tercipta sebuah keadaan yang aman, solidaritas yang erat, tentram, dan adanya rasa semangat saling membantu serta gotong royong. Sebaliknya jika masyarakat memiliki perilaku yang buruk, maka implikasinya juga terhadap negara. Dalam suatu negara akan timbul big problem, baik berupa kekerasan, kriminalitas, pemerkosaan, bahkan korupsi yang sering dilakukan oleh elite pemegang kekuasaan.
Untuk itu pendidikan merupakan hal yang sangat esensial dan important bagi sebuah negara untuk menyelenggarakan sebuah pendidikan yang memilik kind values terhadap masyarakat sehingga nantinya dapat memberi sumbangsih prospek kemajuan dan perkembangan negara itu sendiri. Hal yang terpenting dalam membenahi sebuah negara ialah dengan terlebih dahulu membenahi pendidikannya. Jika pendidikannya sudah baik maka dengan sendirinya perkembangan pendapatan negara, minimalisasi pengangguran, infrastruktur akan lebih berkembang secara dinamis.
Dalam sebuah negara yang maju, semisal Amerika Serikat, Inggris, Finlandia, Jerman, Prancis, Australia, Jepang, pendidikan memiliki perhatian yang cukup signifikan. Rata-rata sebagian besar masyarakatnya telah mengenyam pendidikan tinggi minimal sarjana atau S1. Mengenyam pendidikan yang tinggi merupakan sebuah obligasi bagi seseorang untuk memperoleh bright future. Di negara finlandia misalnya, warga negaranya wajib menuntut ilmu dan masuk sekolah tanpa harus membayar, dalam artian pemerintah finlandia telah menggratiskan biaya pendidikan sampai jenjang yang lebih tinggi. Tak ayal jka negara finlandia menjadi negara peringkat satu di dunia dalam segi pendidikannya.
Lain halnya dengan negara indonesia, sebagian besar masyarakatnya telah mengetahui pentingnya sebuah pendidikan. Di pelosok-pelosok desa dapat ditemukan anak-anak yang telah mengenyam pendidikan. Walaupun anak itu ialah anaknya seorang nelayan, buruh tani, masyarakat sipil. Mereka giat menyuruh anaknya bersekolah agar mendapatkan kehidupan yang lebih baik nantinya dan memperoleh masa depan yang cerah. Akan tetapi hal semacam itu sudah jarang ditemukan di tingkat SMA sampai kuliah. Kebanyakan peserta didik di indonesia tidak melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi, karena faktor ekonomi.
Pemerintah hanya memberi wajib pendidikan sembilan tahun. Selepas itu masyarakat membiayai pendidikannya secara mandiri. Sebagai negara yang besar dan memiliki kekayaan alam yang melimpah seharusnya indonesia menggratiskan biaya pendidikan untuk peserta didik sampai jenjang yang lebih tinggi. Sehingga nantinya masyarakat indonesia bisa mengeksplorasi dan memanfaatkan kekayaan alam secara dependent tanpa harus tergantung pada negara lain. karena saat ini pengelolaan ladang ekonomi yang sangat subur di Indonesia telah terdapat intervensi dari berbagai negara asing.
jika program pendidikan wajib belajar sembilan tahun ini terus diterapkan di Indonesia tanpa adanya sebuah pembenahan atau revisi dan konstruksi, selamanya Indonesia akan sulit untuk menjadi sebuah negara maju. Dan hal ini juga mengindikasikan bahwa adanya gap antara masyarakat bawah-dalam artian ekonominya-dan masyarakat atas. Otomatis yang bisa mengenyam pendidikan tinggi adalah putra-putri konglomerat. Yang miskin semakin miskin dan yang kaya semakin kaya. Maka pada akhirnya tidak ada celah untuk orang miskin bisa keluar dari jurang kemiskinan.
Adanya beasiswa terhadap orang yang tidak mampu untuk melanjutkan study kejenjang yang lebih tinggi tidaklah cukup untuk menyamaratakan pendidikan. Karena yang diberi beasiswa adalah seorang anak yang memiliki kecerdasan mempuni. Bagaimana dengan seorang anak yang kecerdasannya minim. Jika hal itu masih saja dibiarkan maka anak tersebut akan semakin terkungkung dalam kebodohannya. Jangankan mau melanjutkan study, mendapatkan sekolah yang bagus saja sangat susah. Jika tidak memiliki kecukupan ekonomi, dapat dipastikan akan berada di sekolah pelosok atau swasta. Mau masuk universitas saja harus bayar ini dan itu. Akan tetapi, bagi seseorang yang mempunyai cukup banyak uang akan masuk universitas elite dan negeri, seperti UI, UGM, UNPAD, ITB, IPB, dan lain sebagainya. Seharusnya yang diperhatikan untuk masuk universitas elite tersebut ialah anak orang miskin, agar mengenyam pendidikan yang lebih baik, sehingga nantinya bisa bebas dari kungkungan kemiskinan.
Hal semacam diatas juga mengindikasikan bahwa pendidikan di indonesia masih belum merdeka. Dan pendidikan juga terasa dikotak-kotakkan. Sekolah A untuk anak pemerintah dan konglomerat, sekolah B untuk anak pegawai dan orang yang mempunyai tingkat penghasilan ekonmi menengah, sekolah C untuk anaknya orang miskin yang tak memiliki penghasilan ekonomi cukup besar. Itu juga menandakan bahwa oknum pemegang birokrasi dan pendidikan masih sangat lapar akan uang. Pendidikan dijadikan sebagai ladang untuk meraup penghasilan finansial, dan mengisi perut-perut ketamakan seseorang.

By, Moh. Nawafil. BEM-FT.

The Leader of F.A.K. (Forum Anti Kapitalis).

Constructing Of Progresif Education (Membangun Pendidikan Progresif)

Constructing Of Progresif Education
(Membangun Pendidikan Progresif)
Pendidikan adalah sebagai tolak ukur terhadap kelayakan, pertumbuhan, perkembangan, dan kemajuan suatu negara. Jika sebuah negara mempunyai masyarakat yang mayoritas berpendidikan tinggi, besar kemungkinan negara tersebut akan memeliki proteksi keamanan yang bagus, damai, toleran, serta sejahtera. Maka dari itu merupakan suatu kewajiban bagi setiap negara untuk menyelenggarakan pendidikan terhadap masyarakatntya. Jauh sebelumnya Plato telah mengemukakan betapa pentingnya sebuah pendidikan dan sangatlah perlu, baik dirinya selaku individu maupun sebagai warga negara. Dan negara wajib memberikan pendidikan terhadap warga negaranya. Mengindikasikan bahwa begitu besar pentingnya pendidikan bagi manusia atau civil society sehingga plato mengemukakan akan wajibnya suatu negara untuk merealisasikan pendidikan dalam bentuk real serta terprogram dengan baik. Karena melalui pendidikan seseorang bisa mengetahui dan membedakan antara yang benar dan yang tidak benar. Melalui pendidikan pula orang-orang akan mengenal apa yang baik dan apa yang jahat, apa yang patut dan apa yang tidak patut.[1]
Secara bahasa pendidikan berasal dari bahasa Yunani, paedagogy, yang mengandung makna seorang anak yang pergi dan pulang sekolah diantar oleh seorang pelayan. Pelayan yang mengantar dan menjemput dinamakan paedagogos. Dalam bahasa romawi pendidikan diistilahkan sebagai educate yang berarti mengeluarkan sesuatu yang berada di dalam. Dalam bahasa inggris pendidikan diistilahkan to educate yang berarti memperbaiki moral dan melatih intelektual.[2]
Menurut JJ Rousseau pendidikan adalah pemberian pembekalan yang tidak ada pada masa kanak-kanak akan tetapi diperlukan pada masa dewasa. Pembekalan tersebut berisi sebuah keterampilan dan pengetahuan yang urgen sehingga memiliki multi manfaat yang sangat besar untuk persiapan berinteraksi dengan masyarakat yang kompleks. John Dewey juga mengemukakan bahwa pendidikan adalah penanaman keterampilan yang fundamental dan berkenaan dengan rasa ataupun pikiran. John Dewey memberi sebuah penafsiran terhadap rasa yaitu suatu bentuk pengaplikasian emotional diri seseorang, sedangkan pikiran adalah wujud dari sebuah intelegensi. Dalam hal ini Al-Syaebani juga menjelaskan bahwa pendidikan merupakan usaha untuk merubah tingkah laku individu keranah yang lebih baik. Sedangkan menurut Kihajar Dewantara pendidikan adalah tuntunan didalam hidup kembang dan tumbuhnya anak-anak. Artinya pendidikan merupakan tuntunan segala kekuatan terhadap anak-anak yang nantinya ketika menjadi anggota masyarakat dapat mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya.[3]
Esensi dari pendidikan adalah tidak pernah stagnan, pendidikan selalu berubah dan bergerak secara dinamis seiring berkembangnya zaman. Karena itu para pakar pendidikan selalu bereksperimen dan menganalisis tentang metode atau cara yang tepat untuk pendidikan yang sesuai dengan kondisi zamannya. Salah satu caranya dengan mengkonstruksi pendidikan progresif. Melalui ini, diharapkan bisa memberantas distingsi-distingsi yang buruk terhadap pendidikan. Asumsi relatifnya ialah terdapat pernyataan bahwa pendidikan hanyalah sebagai ladang untuk menanam bisnis mega proyek lalu menghasilkan product pengangguran. Banyak sekolah yang telah dianggap sebagai pasar, bukan lagi tempat transfer  of knowledge (pemindahan pengetahuan) atau transfer of value (pemindahan nilai).[4]
Dengan hadirnya progresif education diharapkan bisa membantah terkait dengan distingsi-distingsi buruk terhadap pendidikan serta dapat membuktikan secara ilmiah bahwa pendidikan bukanlah sebagai problem place (tempat masalah) akan tetapi problem solving (pemecahan masalah). Secara garis besar pendidikan progresif adalah proses usaha untuk menjadikan anak didik yang memiliki kualitas dan progress (terus maju) sebagai generasi yang akan menjawab tantangan peradaban baru, yang berfokus terhadap demokrasi pendidikan, kurikulum yang baik dan Ideal school.
Arti dari demokrasi pendidikan yang diterapkan dalam pendidikan progresif  yaitu memberi kebebasan, baik secara fisik maupun cara berfikir, guna membangun bakat yang terpendam dalam dirinya tanpa terhambat oleh rintangan orang lain. maka dari itu pendidikan progresif sangatlah tidak setuju terhadap pendidikan otoriter. Sebab pendidikan otoriter hanya akan mematikan tunas-tunas para pelajar untuk hidup sebagai pribadi yang gembira dalam belajar dan mematikan daya kreasi baik secara fisik maupun psikis anak. Sebagaimana yang dikutip Waty Soemanto dalam psikologi pendidikan : landasan pemimpin pendidikan, John Dewey ingin mengubah hambatan dalam demokrasi pendidikan dengan jalan ; 1) memberi kesempatan murid untuk belajar perorangan. 2) memberi kesempatan murid untuk belajar melalui pengalaman. 3) memberi motivasi bukan perintah.
Tidak hanya sebatas demokrasi pendidikan, kurikulum yang baikpun juga penting. Dalam hal ini ialah kurikulum yang berpusat pada pengalaman yang telah diperoleh anak didik selama disekolah dan dapat diterapkan dalam bentuk kehidupan nyata. Dngan mengimplementasikan metode pendidikan learning by doing (belajar sambil melakukan) dan problem solving (pemecahan masalah).
Adapun sekolah yang ideal adalah sekolah yang isi pendidikannya berintegrasi dengan lingkungan sekitar. Sekolah harus dapat mengupayakan pelestarian karakteristik atau kekhasan lingkungan sekolah sekitar. John Dewey memandang bahwa pendidikan sebagai proses dan sosialisasi. Oleh karena itu dinding pemisah antara sekolah dan masyarakat perlu dihapuskan sebab belajar yang baik tidak hanya di sekolah saja. JJ Rouseu juga berpendapat bahwa anak didik harus dididik sesuai dengan alamnya.[5]
Jika kesemuanya dapat terealisasika dalam wujud real, tentunya akan cepat membentuk anak didik yang memiliki spiritual keagamaan, pengendalian diri, kecerdasan, dan akhlaq mulia sesuai dengan yang dicita-citakan  dalam UU Nomor 20 tahun 2003.







[1] Ahmad, D.M. 1974. Pengantar Filsafat Pendidikan Islam. Bandung: PT. Al-Ma’arif. Hal 12.
[2] Suwarno, Wiji. 2006. Dasar-Dasar Ilmu Pendidikan. Yogyakarta: Ar-Ruzz. Hal 25.
[3] Abdul Kadir. 2012. Dasar-Dasar Pendidikan. Jakarta: Kencana Prenadamedia Group. Hal 61.
[4] Edi Subkhan. 2016. Pendidikan Kritis. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media. Hal 36.
[5] Jalaluddin, Idi. 2011. Filsafat Pendidikan. Jakarta: Rajawali Pers. Hal 87.

Sabtu, 13 Mei 2017

MAKALAH : Pancasila Sebagai Suatu Sistem Filsafat

BAB I

PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang

Perjalanan Bangsa Indonesia dalam kanca perpolitikan dunia untuk mempertahankan keutuhan Bangsa agar tetap bersatu dalam menghadapi tantangan yang cukup berat. Dewasa ini Bangsa Indonesia tengah menghadapi masalah yang begitu rumit, di suatu sisi adanya kecendrungan kehidupan yang semakin global seolah dunia ini tanpa ada batas, sementara di sisi lain adanya realita dalam masyarakat, jiwa dan semangatnya mulai mengendor. Masyarakat kotak-kotak dalam label etnik, golongan, agama dan ras yang berpotensi menimbulkan konplik yang menuju perpecahan bangsa dan Negara kesatuan repoblik Indonesia.
Kesepakatan politis pancasila sebagai dasar Negara sudah final, namun dalam kenyataanya Bangsa Indonesia yang hidup dalam kancah percaturan idiologi besar dunia seperti idiologi Sosisalis, Fasis dan sebagainya, dimana idiologi tersebut menjadi pembanding idiologi pancasila. Mencermati hal tersebut pancasila sebagai suatu sistem, perlu dianalisi secara kritis sehinga menguatkan keyakinan bahwa nilai-nilai Ketuhanan, Kemanusiaan, Persatuan, Kerakyatan dan Keadilan unsur sangat penting bagi manusia.
Pada akhirnya diharapkan nilai-nilai tersebut meresap didalam segenap jiwa Bangsa Indonesia sebagai suatu yang penting bagi kehidupan berbangsa dan bernegara. Lebih jauh kita akan mempunyai kepercayaan diri dan keyakinan untuk memantapkan eksistensi denagn jati diri Pancasila sebagai idiologi nasional ditengah-tengah percaturan idiologi-idiologi internasional.

B.     Rumusan Masalah

1.      Mengidentifikasi Pengertian Filsafat.
2.      Mengidentifikasi Aliran-Aliran Filsafat.
3.      Mengidentifikasi Kesatuan Sila-Sila Pancasila Sebagai Suatu Sistem.
4.      Mengidentifikasi Kesatuan Pancasila.

C.     Tujuan Pembahasan

1.      Memberikan Pemahaman Pengertian Filsafat.
2.      Memberikan Pemahaman Aliran-Aliran Filsafat.
3.      Memberikan Pemahaman Kesatuan Sila-Sila Pancasila Sebagai Suatu Sistem.
4.      Memberikan Pemahaman Kesatuan Pancasila.








BAB II

PEMBAHASAN

A.    Pengertian Filsafat

Dari segi etimologis, sebelum dibahas pengertian filsafat secara material maka dipandang pelu untuk membahas terlabih dahulu makna dan arti istilah “filsafat”. Pada umumnya para filsuf maupun para ahli filsafat mempunyai tinjauan ang senada dalam pengertian istilah filsafat, walaupun secara harafiah mempunyai perdebatan istilah “filsafat” dalam bahasa indonesia mempunyai padanan “falsafah”  dalam kata arab. Sedangkan menurut kata inggris “philosophy” kata latin “philosophia” kata belanda “philosophie”, kata jerman “philosophier”, kata pperancis “philosophie”,yang kesemuanya itu diterjemaahkan dalam kata indonesia “filsafat”. “philosophia” ini adalah kata benda yang merupakan hasil dari kegiatan “philosophien” sebagai kata kerjanya. Sedangkan kegiatan ini dilakukan oleh philosophos atau filsuf sebagai subyek yang berfilsafat. Menurut harun nasution, istilah “falsafah” berasal dari kata yunani “philein” dan kata ini mengandung arti “cinta” dan “sophos” dalam arti hikmah.

Istilah “filsafat” berasal dari bahasa yunani bangsa yunanilah yang mula-mula berfilsafat seperti lazimnya dipahami orang sampai sekarang. Kata ini bersifat majemuk, berasal dati kata “philos” yang berarti sahabat dan bahasa belanda, atau wisdom kata inggris, dan hikmat menurut kata arab. Maka philosophia menurut arti katanya berarti cinta pada pengetahuan yang bijaksana, Oleh karena itu mengyahakannya. Jadi tterdapat sedikit perbedaan arti, disatu pihak menyatakan bahwa filsafat merupakan bentuk majemuk dari “philein” dan “sophos”, (Nasution,1973) dilain pihak filsafat dinyatakan dalam bentukmajemuk dari “philos” dan “sophia” (Gazalba,1997), namun secara semantis mengandung makna yang sama. 

Dengan demikian istilah “filsafat” dan “sophos” mengandung arti, mmencintai hal-hal yang sifatnya bijaksana, sedangkan “filsafat” yang merupakan bentuk majemuk dari “philos” dan “sophia” berkonotasi teman dari kebijaksanaan.

Sementara ahli ada yang menyatakan bahwa “sophia” arti yang lebih luas dari kebijaksanaan. Arti “sophia” meliputi pula kerajinan (creftsmanship) sampai kebenaran pertama (first truth), “sophia” kadang-kadang juga mengandung makna pengetahuan yang luas (wide knowledge), kebijaksanaan (intelectual virtues). Petimbangan yang sehat (sound judgement), kecerdikan dalam memutuskan dalam hal-hal yang praktis (shiwdness in practical decision).
Berikut ini disajikan pengertian filsafat menurut beberapa ahli;
Plato ( 428 -348 SM ) : Filsafat tidak lain dari pengetahuan tentang segala yang ada.
Aristoteles ( (384 – 322 SM) : Bahwa kewajiban filsafat adalah menyelidiki sebab dan asas segala benda. Dengan demikian filsafat bersifat ilmu umum sekali. Tugas penyelidikan tentang sebab telah dibagi sekarang oleh filsafat dengan ilmu.
Cicero ( (106 – 43 SM ) : filsafat adalah sebagai “ibu dari semua seni“ ( the mother of all the arts“ ia juga mendefinisikan filsafat sebagai ars vitae (seni kehidupan )
Johann Gotlich Fickte (1762-1814 ) : filsafat sebagai Wissenschaftslehre (ilmu dari ilmu-ilmu, yakni ilmu umum, yang jadi dasar segala ilmu. Ilmu membicarakan sesuatu bidang atau jenis kenyataan. Filsafat memperkatakan seluruh bidang dan seluruh jenis ilmu mencari kebenaran dari seluruh kenyataan.
Paul Nartorp (1854 – 1924 ) : filsafat sebagai Grunwissenschat (ilmu dasar hendak menentukan kesatuan pengetahuan manusia dengan menunjukan dasar akhir yang sama, yang memikul sekaliannya .
Imanuel Kant ( 1724 – 1804 ) : Filsafat adalah ilmu pengetahuan yang menjadi pokok dan pangkal dari segala pengetahuan yang didalamnya tercakup empat persoalan.
Jadi, istilah filsafat pada mulanya merupakan suatu istilah yang secara umum dipergunakan untuk menyebutan usaha kearah keutamaan mental.Dari semua pengertian filsafat secara terminologis di atas, dapat ditegaskan bahwa filsafat adalah ilmu pengetahuan yang menyelidiki dan memikirkan segala sesuatunya secara mendalam dan sungguh-sungguh, serta radikal sehingga mencapai hakikat segala situasi tersebut.[1]

B.     Ciri-ciri Berfikir Secara Filsafat

Adapun ciri-ciri berpikir secara filsafat ialah sebagai berikut ;

1.      Berpikir secara menyeluruh. Artinya, Pemikiran yang luas karena tidak membatasi diri dan bukan hanya ditinjau dari satu sudut pandang tertentu. Pemikiran kefilsafatan ingin mengetahui hubungan antara ilmu yang satu dengan ilmu-ilmu yang lain, hubungan ilmu dan moral, seni dan tujuan hidup. Contoh: ketika kita mempelajari tentang Karma Phala (hasil perbuatan) didalamnya pasti terdapat perbuatan baik dan buruk kemudian untuk mengetahui hasilnya dilakukan perbandingan dengan angka (misalnya; perbuatan baik 75% dan buruk 25%). Jika seseorang hanya memandang dari satu sudut pandang saja,  Karma Phala selalu dikaitkan dengan Agama saja, akan tetapi jika dipandang secara menyeluruh didalamnya terdapat perbandingan perbuatan baik dan buruk yang merupakan unsur ilmu Matematika.
2.      Berpikir secara mendasar. Seorang filosof tidak percaya begitu saja kebenaran ilmu yang diperolehnya. Ia selalu ragu dan mempertanyakannya; Mengapa ilmu dapat disebut benar?, Bagaimana proses penilaian berdasarkan kriteria tersebut dilakukan?, Apakah kriteria itu sendiri benar? Lalu benar itu sendiri apa? Seperti sebuah lingkaran dan pertanyaan-pertanyaan pun selalu muncul secara bergantian. Artinya, pemikiran yang dalam sampai kepada hasil yang fundamental atau esensial obyek yang dipelajarinya sehingga dapat dijadikan dasar berpijak bagi segenap nilai dan keilmuan. Jadi, tidak hanya berhenti pada periferis (kulitnya) saja, tetapi sampai tembus ke kedalamannya. Contoh sederhana, misalnya kita menemukan bunga mawar merah muda di sebuah taman diantara bunga-bunga melati. Jika kita hanya melihat sekilas bunga mawar tersebut, mungkin hal itu akan menjadi sangat sederhana. Akan tetapi, akan sangat berbeda jika kita benar-benar mau memikirkannya. Semuanya tak akan tampak mudah dan sederhana karena akan muncul pertanyaan-pertanyaan dalam pikiran kita yaitu siapa yang menanam bunga itu dan untuk apa bunga itu ditanam?. Padahal diantaranya sudah banyak sekali bunga melati. Contoh lain, misalnya, seorang siswa yang berpikir bagaimana agar bisa lulus dalam Ujian Akhir  Nasional (UAN), maka siswa ini tidaklah sedang berfilsafat atau berfikir secara filsafat melainkan berfikir biasa (mendasar) yang jawabannya tidak memerlukan pemikiran yang mendalam dan menyeluruh.
3.      Berpikir secara spekulatif. Seorang filosof melakukan spekulasi terhadap kebenaran. Sifat spekulatif itu pula seorang filosof terus melakukan uji coba lalu melahirkan sebuah pengetahuan dan dapat menjawab pertanyaan terhadap kebenaran yang dipercayainya. Contohnya: sebelum ditemukan lampu pijar, Thomas Alva Edison selalu melakukan uji coba, meskipun lebih dari 99 kali mengalami kegagalan dan membutuhkan waktu beberapa tahun, namun cara berpikirnya yang pantang menyerah ahirnya menciptakan lampu pijar yang mempermudah penerangan semua umat manusia.
4.      Berpikir secara sistematik. Dalam mengemukakan jawaban terhadap suatu masalah, para filsuf memakai pendapat-pendapat sebagai wujud dari proses befilsafat. Pendapat-pendapat itu harus saling berhubungan secara teratur dan terkandung maksud dan tujuan tertentu. Contoh: saat seseorang mengeyam pendidikan, ia harus menempuh sesuai dengan umur dan tahapannya, misalnya agar bisa SMA, seseorang harus menempuh SD dan SMP terlebih dahulu karena merupakan runtutan atau tahapan dari tingkatan pendidikan.
5.      Berpikir dengan pemikiran yang bertanggungjawab. Pertanggungjawaban yang pertama adalah terhadap hati nuraninya sendiri. Seorang filsuf seolah-olah mendapat panggilan untuk membiarkan pikirannya menjelajahi kenyataan. Namun, fase berikutnya adalah bagaimana ia merumuskan pikiran-pikirannya itu agar dapat dikomunikasikan pada orang lain serta dipertanggungjawabkan. Contoh: ketika menjawab sebuah pertanyaan baik dalam sebuah buku, forum atau diskusi haruslah sesuai dengan referensi yang benar yang dapat dibuktikan orang lain dan diimbangi dengan pertanggungjawaban atas semua perkataan atau pendapat yang telah dilontarkan.[2]


C.     Aliran-Aliran Filsafat

Sebagaimana ilmu lainya filsafat memiliki cabang-cabang yang berkembang sesuai dengan persoalan filsafat yang dikemukakannya. Filsafat timbul karena adanya persoalan-persoalan yang dihadapi manusia. Pesoalan-persoalan tersebut kemudian diupayakan pemecahannya oleh para filsuf secara sistematis dan rasional. Maka muncullah cabang-cabang filsafat tersebut dan berkembang terus sesuai pemikiran dan problema yang dihadapi oleh manusia.
Cabang-cabang filsafat yang tradisional terdiri atas empat yaitu ; 1) logika, 2) metafisika, 3) epistimologi, dan 4) etika. Namun demikian berangsur-angsur berkembang sejalan dengan persoalan yang dihadapi oleh manusia. Maka untuk mempermudah pemahaman kita perlu diytrakan cabang-cabang filsafat yang pokok;

1.      Metafisika; yang berkaitan dengan persoalan tentang hakikat yang ada (segala sesuatu yang ada)
2.      Epistimologi; yang berkaitan dengan persoalan hakikat pengetahuan.
3.      Metodologi; yang berkaitan dengan persoalan hakikat metode ilmiah.
4.      Logika; Yng berkaitan dengan persoalan penyimpulan.
5.      Etika;  yang berkaitan dengan persoalan moralitas.
6.      Estetika; yang berkaitan dengan persoalan keindahan.

D.    Kesatuan Sila-Sila Pancasila Sebagai Suatu Sistem

Pancasila yang terdiri atas lima sila pada hakikatnya merupakan suatu sistem filsafat. Pengertian sistem adalah satu kesatuan bagian-bagian yang saling berhubungan, saling bekerja sama untuk satu tujuan tertentu dan secara keseluruhan. Merupakan satu kesatuan yang utuh. Sistem lazimnya memililki ciri-ciri sebgai berikut ;

1.      Suatu kesatuan bagian-bagian.
2.      Bagian-bagian tersebut mempunyai funsi sendiri-sendiri.
3.      Saling berhubungan dan saling ketergantungan.
4.      Kaseluruhannya dimaksudkan untuk mencapai suatu tujuan tertentu (tujuan sistem)
5.      Terjadi dalam suatu lingkungan yang kompleks.[3]

Pancasila yang terdiri atas bagian-bagian yaitu sila-sila pancasila setiap sila pada hakikatnya merupakan suatu asas sendiri, fungsi sendiri-sendiri namun secara kseluruhan nerupakan suatu sistem sistematis.
Adapun pembagian pancasila sebagai suatu sistem ialah sebagai berikut ;

1.     Pancasila Sebagai Sistem Filsafat

Secara etimologi kata Etika berasal dari bahasa Yunani Kuno yaitu Etos, dalam bentuk tunggal mempunyai banyak pengertian : tempat tinggal yang biasa, padang rumput, kandang, kebiasaan, ahlak, watak perasaan, sikap dan cara berfikir. Dalam bentuk jamak artinya adalah adat kebiasaan, inilah yang melatarbelakangi terbentuknya istilah Etika.
Pancasila sebagai pandangan hidup merupakan cerminan nilai-nilai yang diyakini kebenaranya, sehingga memberikan motivasi untuk mewujudkan realitas dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini merupakan system etika bangsa Indonesia disamping sebagai pandangan hidup bangsa Indonesia. Nilai-nilai pancasila sudah ada sejak bangsa Indonesia ada, namun pancasila belum dirumuskan secara sistematis, misalnya nilai ketuhanan, nilai persatuan, nilai kemanusiaan, nilai musyawara untuk menuju mufakat dan nilai keadilan.

2.     Pancasila Sebagai Sistem Etika Politik

Kata politik secara etimologis berasal dari bahasa Yunani yaitu Politeia, yang akar katanya adalah Polis, yang berarti kesatuan masyarakat yang berdiri sendiri, yaitu Negara dan tela berarti urusan. Dalm bahasa Indonesia politik mempunyai kepentingan umum warga Negara dalam suatu bangsa, politik merupakan suatu rangkaian asas, jalan, arah dan medanya yang berfungsi memberikan pertimbanga dalam melaksanakan asas, jalan dan srah tersebut sebaik-baiknya.
Politik secara umum menyangkut proses penentuan tujuan Negara dan cara melaksanakanya. Pelaksanaan tujuan tersbut memerlukan kebijakan-kebijakan umum yang menyangkut pengaturan dan pembagian alokasi sumber-sumber yang ada serta memerlukan kekuasaan dan wewenag guna pembinaan kerja sama dan menyelsaikan konflik yang mungkin muncul dalam pencapain tujuan.
Etika merupakan filsafat moral atau kesusilaan yang berdasar pada keperibadian, idiologi, jiwa dan pandangan bangsa. Hakekat etika pancasila berpedoman pada norma-norma yang bersumber dari pancasila. Berkaitan dengan aplikasi kehidupan dalam aspek politik tentunya kita harus berpedoaman pada etika politik sehingga dalam kehidupan berbangsa dan bernegara tercipta suasana yang kondusif dan perdamaian.
Sebagai dasar filsafat Negara pancasila tidak hanya merupakan sumber peraturan perundang-undangan, melainkan merupakan sumber moralitas terutama dalam hubunganya dengan legitimasi kekuasaan, hokum sebagai kebijakan dalam pelaksanaan dan penyelenggaran Negara. Itulah yang mencerminkan nilai-nilai pancasila merupakan etika politik.

E.    Kesatuan Sila-Sila Pancasila

1.      Susunan kesatuan sila-sila pancasila yang bersifat organis

Isi sila-sila pancasila pada hakikatnya merupakan suatu kesatuan dasar filsafat negara indonesia terdiri atas lima sila yang masing-masing merupakan asa peradaban, namun demikian sila-sila pancasila itu merupakan suatu kesatuan dan keutuhan yaitu setiap sila merupakan unsur (bagian yang mutlak) dari pancasila. Maka pancasila merupakan satu kesatuan yang majemuk tunggal. Konsekuensinya setiap sila tidak dapat berdiri sendiri-sendiri terlepas dari sila-sila lainya serta diantara sila satu dan lainya tidak saling bertentangan.
Kesatuan sila-sila pancasila yang bersifat oganis tersebut pada hakikatnya secara filosofis bersumber pada hakikat dasar antologis manusia sebagai pendukung dari inti, isi dari sila-sila pancasila yaitu hakikat manusia ‘monopltiraliss’ yang memiliki unsur-unsur susunan kodrad jasmani, rohani ‘sifat kodrad’ individu makhluk sosial dan ‘kedudukan kodrad sebagai pribadi berdiri sendiri makhluk tuhan yang maha esa.

2.      Susunan kesatuan pancasila yang bersifat hirarkhis dan berbentuk piramidal.

Susunan pancasila adalah hirarkhis dan mempunyai bentuk piramidal. pengertian matematika piramidal digunakan untuk menggambar hubungan hirarkhi sila-sila dari pancasila dalam urut-urutan luas (kuantitas) dan juga dalam hal sifat-sifatnya (kualitas). Kalau dilihat dari intinya, urutan-urutan lima sila menunjukan suatu rangkaian tingkat dalam luasnya dan isi sifatnya, merupakan penghususan dari sila-sila yang dimukanya. Jika urutan lima sila dianggap mempunyai maksud demikian, maka diantara lima sila ada hubungan yang mengikat yang satu kepada yang lain sehingga pancasila merupakan suatu kesatuan keseluruhan yang bulat. Andaikata urut-urutan itu dipandang sebagai tidak mutlak. Diantara satu sila dengan sila lainnya tidak ada sangkut pautnya, maka pancasila it menjadi terpecah-pecah, oleh karena itu, tidak dapat dipergunakan sebagai suatu asas kerohanian bagi negara. Jikalau tiap-tiap sila dapat diartika dalam bermacam-macam maksud, sebenarnya lalu sama saja dengan tidak ada pancasila.











BAB III

PENUTUP

A.     Kesimpulan

filsafat adalah ilmu pengetahuan yang menyelidiki dan memikirkan segala sesuatunya secara mendalam dan sungguh-sungguh, serta radikal sehingga mencapai hakikat segala situasi tersebut.
Pancasila sebagai suatu kesatuan yang menjadikannya sebagai sistem filsafat memiliki dasar ontologis, dasar epitemologis, dan dasar aksiologis. Dasar ontologis Pancasila yaitu manusia, dasar epistemologinya sumber pengetahuan, teori pengetahuan, dan watak pengetahuan manusia, sedangkan dasar aksiologisnya adalah nilai-nilai dari Pancasila itu sendiri. Selain itu, Pancasila mempunyai lima sila yang setiap silanya mempunyai arti masing-masing. Sila kelima Pancasila merupakan sila yang didasari oleh keempat sila sebelumnya dan merupakan cita-cita bangsa Indonesia yakni terciptanya keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.



















DAFTAR PUSTAKA


·         Pendidikan pancasila, prof. Dr. Kaelan, m.s., paradigma yogyakarta, edisi revisi 2014.
·         Kuntho. 2010. Ciri-ciri Berfikir Filsafat (Online). http://edukonten.blogspot.com. Diakses pada tanggal 06 Februari 2013
·         Nocturna. 2011. Ciri – ciri Penalaran Filosofis (Online). http://jintut-nocturna.blogspot.com. Diakses pada tanggal 06 Februari 2013






[1] Pendidikan pancasila, prof. Dr. Kaelan, m.s., paradigma yogyakarta, edisi revisi 2014 ;16.
[2] Kuntho. 2010. Ciri-ciri Berfikir Filsafat (Online). http://edukonten.blogspot.com. Diakses pada tanggal 06 Februari 2013
[3] Nocturna. 2011. Ciri – ciri Penalaran Filosofis (Online). http://jintut-nocturna.blogspot.com. Diakses pada tanggal 06 Februari 2013

MAKALAH : Tekhnik Pengupulan Informasi atau Data Dalam Penulisan Karya Ilmiah

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Pada masa modern ini, semua orang dituntut untuk mempunyai sebuah karya atau paling tidak berkarya. Khususnya dikalangan Dosen, Pelajar atau Mahasiswa, Peneliti, bahkan menjadi suatu hal yang sangat wajib. Karya ilmiah adalah sesuatu yang bernilai positif  yang dihasilkan oleh seseorang dengan bersifat ilmiah atau dapat dipertanggung jawabkan. Karya ilmiah banyak jenisnya, contoh Skripsi, Tesis, Disertasi, Artikel, Opini, dan lain-lain. Untuk membuat karya ilmiah yang berbagai jenis tersebut, perlunya mengetahui tentang tekhnik-teknik penulisan karya ilmiah. Salah satunya adalah tekhnik pengumpulan informasi atau data dalam penulisan karya ilmiah.
B.     Rumusan Masalah
1.      Pengumpulan informasi atau data dengan menggunakan metode tes
2.      Pengumpulan informasi atau data dengan menggunakan metode non tes
C.    Tujuan Pembahasan
1.      Untuk mengetahui Pengumpulan informasi atau data dengan menggunakan metode tes
2.      Untuk mengetahui Pengumpulan informasi atau data dengan menggunakan metode non tes










BAB II
PEMBAHASAN
Pengumpulan data dilakukan untuk memperoleh informasi yang dibutuhkan dalam rangka mencapai tujuan penelitian. Tujuan yang diungkapkan dalam bentuk hipotesis merupakan jawaban sementara terhadap pertanyaan penelitian. Jawaban itu masih perlu diuji secara empiris, dan untuk maksud inilah dibutuhkan pengumpulan data. Data yang dikumpulkan ditentukan oleh variabel-variabel yang ada dalam hipotesis. Data itu dikumpulkan oleh sampel yang telah ditentukan sebelumnya. Sampel tersebut terdiri atas sekumpulan unit analisis sebagai sasaran penelitian.[1]
Untuk mengumpulkan data dari sampel penelitian, dilakukan dengan metode tertentu sesuai dengan tujuannya. Dalam proses pengumpulan data tentu diperlukan sebuah alat atau instrumen pengumpul data. Alat pengumpul data dapat dibedakan menjadi dua yaitu pertama alat pengumpul data dengan menggunakan metode tes dan metode non tes.
A.    Pengumpulan informasi atau data dengan mengunakan metode tes
Tes merupakan suatu metode penelitian psikologis untuk memperoleh informasi tentang berbagai aspek dalam tingkah laku dan kehidupan batin seseorang, dengan menggunakan pengukuran (measurement) yang menghasilkan suatu deskripsi kuantitatif tentang aspek yang diteliti. Keunggulan metode ini adalah lebih akurat karena tes berulang-ulang direvisi dan instrument penelitian yang objektif. Sedangkan kelemahan metode ini adalah hanya mengukur satu aspek data, memerlukan jangka waktu yang panjang karena harus dilakukan secara berulang-ulang, dan hanya mengukur keadaan siswa pada saat tes itu dilakukan.[2]
Adapun jenis-jenis tes, yaitu:
a.      Tes Intelegensi
Tes kemampuan intelektual, mengukur taraf kemampuan berpikir, terutama berkaitan dengan potensi untuk mencapi taraf prestasi tertentu dalam belajar di sekolah (Mental ability Test; Intelegence Test; Academic Ability Test; Scholastic Aptitude Test). Jenis data yang dapat diambil dari tes ini adalah kemampuan intelektual atau kemampuan akademik.
b.     Tes Bakat
Tes kemampuan bakat, mengukur taraf kemampuan seseorang untuk berhasil dalam bidang studi tertentu, program pendidikan vokasional tertentu atau bidang pekerjaan tertentu, lingkupnya lebih terbatas dari tes kemampuan intelektual (Test of Specific Ability; Aptitude Test ). Kemampuan khusus yang diteliti itu mencakup unsur-unsur intelegensi, hasil belajar, minat dan kepribadian yang bersama-sama memungkinkan untuk maju dan berhasil dalam suatu bidang tertentu dan mengambil manfaat dari pengalaman belajar dibidang itu.
c.       Tes Minat
Tes minat, mengukur kegiatan-kegiatan macam apa paling disukai seseorang. Tes macam ini bertujuan membantu orang muda dalam memilih macam pekerjaan yang kiranya paling sesuai baginya (Test of Vocational Interest).
d.     Tes Kepribadian
Tes kepribadian, mengukur ciri-ciri kepribadian yang bukan khas bersifat kognitif, seperti sifat karakter, sifat temperamen, corak kehidupan emosional, kesehatan mental, relasi-relasi social dengan orang lain, serta bidang-bidang kehidupan yang menimbulkan kesukaran dalam penyesuaian diri. Tes Proyektif, meneliti sifat-sifat kepribadian seseorangmelalui reaksi-reaksinya terhadap suatu kisah, suatu gambar atau suatu kata; angket kepribadian, meneliti berbagai ciri kepribadian seseorang dengan menganalisa jawaban-jawaban tertulis atas sejumlah pertanyaan untuk menemukan suatu pola bersikap, bermotivasi atau bereaksi emosional, yang khas untuk orang itu.
Kelemahan Tes Proyektif hanya diadministrasi oleh seorang psikolog yang berpengalaman dalam menggunakan alat itu dan ahli dalam menafsirkannya.
e.      Tes Perkembangan Vokasional
Tes vokasional, mengukur taraf perkembangan orang muda dalam hal kesadaran kelak akan memangku suatu pekerjaan atau jabatan (vocation); dalam memikirkan hubungan antara memangku suatu jabatan dan cirri-ciri kepribadiannya serta tuntutan-tuntutan social-ekonomis; dan dalam menyusun serta mengimplementasikan rencana pembangunan masa depannya sendiri. Kelebihan tes semacam ini meneliti taraf kedewasaan orang muda dalam mempersiapkan diri bagi partisipasinya dalam dunia pekerjaan (career maturity).
f.       Tes Hasil Belajar (Achievement Test)
Tes yang mengukur apa yang telah dipelajari pada berbagai bidang studi, jenis data yang dapat diambil menggunakan tes hasil belajar (Achievement Test) ini adalah taraf prestasi dalam belajar.

B.     Pengumpulan informasi atau data dengan mengunakan metode non tes
Untuk melengkapi data hasil tes akan lebih akurat hasilnya bila dipadukan dengan data-data yang dihasilkan dengan menggunakan tehnik yang berbeda, berikut disajikan alat pengumpul data dalam bentuk non tes.
Adapun jenis-jenis metode non tes, yaitu:
a.      Observasi
Observasi diartikan pengamatan dan pencatatan secara sistematik terhadap gejala yang tampak pada objek penelitian. Berikut alat dan cara melaksanakan observasi. Keunggulan metode ini adalah banyak gejala yang hanya dapat diselidiki dengan observasi, hasilnya lebih akurat dan sulit dibantah, banyak objek yang hanya bersedia diambil datanya hanya dengan observasi, misalnya terlalu sibuk dan kurang waktu untuk diwawancarai atau menisci kuesioner, kejadian yang serempak dapat diamati dan dan dicatat serempak pula dengan memperbanyak observer, dan banyak kejadian yang dipandang kecil yang tidak dapat ditangkap oleh alat pengumpul data yang lain, yang ternyata sangat menentukan hasil penelitian. 
Kelemahan metode ini adalah observasi tergantung pada kemampuan pengamatan dan mengingat, kelemahan-kelemahan observer dalam pencatatan, banyak kejadian dan keadaan objek yang sulit diobservasi, terutama yang menyangkut kehidupan peribadi yang sangat rahasia, dan oberservasi sering menjumpai observer yang bertingkah laku baik dan menyenangkan karena tahu bahwa ia sedang diobservasi.[3]

b.     Angket atau kuesioner (questionnaire)
Angket atau kuesioner merupakan suatu teknik pengumpulan data secara tidak langsung (peneliti tidak langsung bertanya jawab dengan responden). Instrumen atau alat pengumpulan datanya juga disebut angket berisi sejumlah pertnyaan-pertanyaan yang harus dijawab atau direspon oleh responden. Responden mempunyai kebiasaan untuk memberikan jawaban atau respon sesuai dengan presepsinya. Kuesioner merupakan metode penelitian yang harus dijawab responden untuk menyatakan pandangannya terhadap suatu persoalan. Sebaiknya pertanyaan dibuat dengan bahasa sederhana yang mudah dimengerti dan kalimat-kalimat pendek dengan maksud yang jelas. 
Penggunaan kuesioner sebagai metode pengumpulan data terdapat beberapa keuntungan, diantaranya adalah pertanyaan yang akan diajukan pada responden dapat distandarkan, responden dapat menjawab kuesioner pada waktu luangnya, pertanyaan yang diajukan dapat dipikirkan terlebih dahulu sehingga jawabannya dapat dipercaya dibandingkan dengan jawaban secara lisan, serta pertanyaan yang diajukan akan lebih tepat dan seragam.[4] Kuesioner dapat dibagi menjadi empat, yaitu:

1.      Kuesioner tertutup
Setiap pertanyaan telah disertai sejumlah pilihan jawaban. Responden hanya memilih jawaban yang paling sesuai.
2.      Kuesioner terbuka
Dimana tidak terdapat pilihan jawaban sehingga responden haru memformulasikan jawabannya sendiri.
3.      Kuesioner kombinasi terbuka dan tertutup
Dimana pertanyaan tertutup kemudian disusul dengan pertanyaan terbuka.
4.      Kuesioner semi terbuka                              
Pertanyaan yang jawabannya telah tersusun rapi, tetapi masih ada kemungkinan tambahan jawaban.

c.       Wawancara
Wawancara informasi merupakan salah satu metode pengumpulan data untuk memperoleh data dan informasi dari siswa secara lisan. Proses wawancara dilakukan dengan cara tatap muka secara langsung dengan siswa. Selama proses wawancara petugas bimbingan mengajukan pertanyaan, meminta penjelasan dan jawaban dari pertanyaan yang diberikan dan membuat catatan mengenai hal-hal yang diungkapkan kepadanya. Secara garis besar ada dua macam pedoman wawancara, yaitu:
1.      Pedoman wawasan tidak terstruktur, yaitu pedoman wawancara yang hanya memuat garis besar yang akan ditanyakan. Tentu saja kreativitas pewawancara sangat diperlukan, bahkan hasil wawancara dengan jenis pedoman ini lebih banyak tergantung dari pewawancara. Pewawancaralah sebagai pengemudi jawaban responden. Jenis interviu ini cocok untuk penilaian khusus.
2.      Pedoman wawancara terstruktur, yaitu pedoman wawancara yang disusun secara terperinci sehingga menyerupai check-list. Pewawancara tinggal membubuhkan tanda (check) pada nomor yang sesuai.
Pedoman wawancara yang banyak digunakan adalah bentuk “semi structured”. Dalam hal ini maka mula-mula interviewer menanyakan serentetan pertanyaan yang sudah terstruktur, kemudian satu per satu diperdalam dalam mengorek keterangan lebih lanjut. Dengan demikian jawaban yang diperoleh bisa meliputi semua variabel, dengan keterangan yang lengkap dan mendalam.
d.     Studi Dokumenter (documentary sudy)
Studi dokumenter merupakan merupakan suatu teknik pengumpulan data dengan menghimpun dan menganalisis dokumen-dokumen, baik dokumen tertulis,gambar maupun elektronik. Dokumen yang telah diperoleh kemudian dianalisis (diurai), dibandingkan dan dipadukan (sintesis) membentuk satu hasil kajian yang sistematis, padu dan utuh. Jadi studi dokumenter tidak sekedar mengumpulkan dan menuliskan atau melaporkan dalam bentuk kutipan-kutipan tentang sejumlah dokumuen yang dilaporkan dalam penelitian adalah hasil analisis terhadap dokumen-dokumen tersebut.
Metode dokumentasi, yaitu mencari data mengenai hal-hal atau variabel yang berupa catatan, transkrip, buku, surat kabar, majalah, prasasti, notulen rapat, lengger, agenda, dan sebagainya. Dibandingkan dengan metode lain, maka metode ini agak tidak begitu sulit, dalam arti apabila ada kekeliruan sumber datanya masih tetap, belum berubah. Dengan metode dokumentasi yang diamati bukan benda hidup tetapi benda mati. Dalam menggunakan metode dokumentasi ini peneliti memegang check-list untuk mencari variabel yang sudah ditentukan. Apabila terdapat/muncul variabel yang dicari, maka peneliti tinggal membubuhkan tanda check atau tally di tempat yang sesuai. Untuk mencatat hal-hal yang bersifat bebas atau belum ditentukan dalam daftar variabel peneliti dapat menggunakan kalimat bebas.




BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Pengumpulan data dilakukan untuk memperoleh informasi yang dibutuhkan dalam rangka mencapai tujuan penelitian. Adapun alat pengumpul data dapat dibedakan menjadi dua yaitu pertama alat pengumpul data dengan menggunakan metode tes dan metode non tes. Adapun yang menggunakan tes, dengan cara tes intelegensi, tes minat, tes kepribadian, tes bakat, tes perkembangan hasil belajar, tes vokasional. Sedangkan yang menggunakan non tes, dengan cara observasi, angket atau kuesioner, wawancara, metode dokumenter.
                                     
B.     Saran
Semoga dengan adanya makalah yang berjudul tentang Tekhnik Pengumpulan Informasi Atau Data Dalam Penulisan Karya Ilmiahini bisa menjadi bahan belajar dan rujukan bagi kita selaku mahasiswa yang masih dalam tahap belajar dan bila ada kekurangan dari makalah ini, penulis mohon maaf dengan sebesar-besarnya, karena setiap manusia pasti tidak luput dari kesalahan dan dosa, tapi setidaknya penulis telah berusaha untuk menyelesaikan makalah ini dengan sebaik-baiknya.
Bagi pembaca, penulis mohon agar dapat memberikan kritik dan sarannya tentang makalah ini, supaya hal itu bisa menjadi evaluasi bagi penulis agar menjadi lebih baik lagi kedepannya.   




DAFTAR PUSTAKA
Ardhana. 2008. “Teknik Pengumpulan Data kualitatif.” (http://ardhana12.wordpress.com)
Kriswanto, Joni. 2008. “Metode Pengumpulan Data.” (http://jonikriswanto.blogspot.com)
Susanto, Eko. 2008. “Jenis Data dan Metode Pengumpulan Data.”

Islam, Dinul. 2010. "Metode Pengumpulan Data." (http://dinulislamjamilah.wordpress.com)





[1] Ardhana. 2008. “Teknik Pengumpulan Data kualitatif.” (http://ardhana12.wordpress.com)
[2] Kriswanto, Joni. 2008. “Metode Pengumpulan Data.” (http://jonikriswanto.blogspot.com)
[3] Susanto, Eko. 2008. “Jenis Data dan Metode Pengumpulan Data.”
[4] Islam, Dinul. 2010. "Metode Pengumpulan Data." (http://dinulislamjamilah.wordpress.com)

NEGARA TELAH MERDEKA, PENDIDIKAN MASIH JAUH DARI KATA MERDEKA.

NEGARA TELAH MERDEKA, PENDIDIKAN MASIH JAUH DARI KATA MERDEKA. Ditinjau dari segi bahasa, pendidikan berasal dari kata Yunani yaitu pae...