Jumat, 15 September 2017

NEGARA TELAH MERDEKA, PENDIDIKAN MASIH JAUH DARI KATA MERDEKA.

NEGARA TELAH MERDEKA, PENDIDIKAN MASIH JAUH DARI KATA MERDEKA.
Ditinjau dari segi bahasa, pendidikan berasal dari kata Yunani yaitu paedagogy yang memiliki arti seorang anak yang selalu diantar dan dijemput sekolah oleh seorang pelayan. Sedangkan pelayannya disebut paedagogos. Dalam bahasa inggris, pendidikan berasal dari kata to educate yaitu sebuah usaha mengambil sesuatu dari dalam. Usaha mengambil sesuatu dari dalam itu adalah menggali potensi-potensi yang dimiliki oleh manusia sehingga dapat bermanfaat bagi kehidupannya kelak ketika dewasa, dan mampu bersosialisai yang baik dengan masyarakat dan lingkungan sekitar.
Menurut as-Syaebani pendidikan adalah usaha untuk mengubah tingkah laku manusia menuju yang lebih baik. menurut Ki Hajar Dewantara pendidikan adalah pedoman untuk bertingkah laku. Jadi untuk memiliki tingkah laku yang baik, maka pendidikannya juga harus baik. Jika masyarakat memiliki tingkah laku yang baik maka dampaknya juga akan mengenai terhadap sebuah negara. Dalam negara akan tercipta sebuah keadaan yang aman, solidaritas yang erat, tentram, dan adanya rasa semangat saling membantu serta gotong royong. Sebaliknya jika masyarakat memiliki perilaku yang buruk, maka implikasinya juga terhadap negara. Dalam suatu negara akan timbul big problem, baik berupa kekerasan, kriminalitas, pemerkosaan, bahkan korupsi yang sering dilakukan oleh elite pemegang kekuasaan.
Untuk itu pendidikan merupakan hal yang sangat esensial dan important bagi sebuah negara untuk menyelenggarakan sebuah pendidikan yang memilik kind values terhadap masyarakat sehingga nantinya dapat memberi sumbangsih prospek kemajuan dan perkembangan negara itu sendiri. Hal yang terpenting dalam membenahi sebuah negara ialah dengan terlebih dahulu membenahi pendidikannya. Jika pendidikannya sudah baik maka dengan sendirinya perkembangan pendapatan negara, minimalisasi pengangguran, infrastruktur akan lebih berkembang secara dinamis.
Dalam sebuah negara yang maju, semisal Amerika Serikat, Inggris, Finlandia, Jerman, Prancis, Australia, Jepang, pendidikan memiliki perhatian yang cukup signifikan. Rata-rata sebagian besar masyarakatnya telah mengenyam pendidikan tinggi minimal sarjana atau S1. Mengenyam pendidikan yang tinggi merupakan sebuah obligasi bagi seseorang untuk memperoleh bright future. Di negara finlandia misalnya, warga negaranya wajib menuntut ilmu dan masuk sekolah tanpa harus membayar, dalam artian pemerintah finlandia telah menggratiskan biaya pendidikan sampai jenjang yang lebih tinggi. Tak ayal jka negara finlandia menjadi negara peringkat satu di dunia dalam segi pendidikannya.
Lain halnya dengan negara indonesia, sebagian besar masyarakatnya telah mengetahui pentingnya sebuah pendidikan. Di pelosok-pelosok desa dapat ditemukan anak-anak yang telah mengenyam pendidikan. Walaupun anak itu ialah anaknya seorang nelayan, buruh tani, masyarakat sipil. Mereka giat menyuruh anaknya bersekolah agar mendapatkan kehidupan yang lebih baik nantinya dan memperoleh masa depan yang cerah. Akan tetapi hal semacam itu sudah jarang ditemukan di tingkat SMA sampai kuliah. Kebanyakan peserta didik di indonesia tidak melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi, karena faktor ekonomi.
Pemerintah hanya memberi wajib pendidikan sembilan tahun. Selepas itu masyarakat membiayai pendidikannya secara mandiri. Sebagai negara yang besar dan memiliki kekayaan alam yang melimpah seharusnya indonesia menggratiskan biaya pendidikan untuk peserta didik sampai jenjang yang lebih tinggi. Sehingga nantinya masyarakat indonesia bisa mengeksplorasi dan memanfaatkan kekayaan alam secara dependent tanpa harus tergantung pada negara lain. karena saat ini pengelolaan ladang ekonomi yang sangat subur di Indonesia telah terdapat intervensi dari berbagai negara asing.
jika program pendidikan wajib belajar sembilan tahun ini terus diterapkan di Indonesia tanpa adanya sebuah pembenahan atau revisi dan konstruksi, selamanya Indonesia akan sulit untuk menjadi sebuah negara maju. Dan hal ini juga mengindikasikan bahwa adanya gap antara masyarakat bawah-dalam artian ekonominya-dan masyarakat atas. Otomatis yang bisa mengenyam pendidikan tinggi adalah putra-putri konglomerat. Yang miskin semakin miskin dan yang kaya semakin kaya. Maka pada akhirnya tidak ada celah untuk orang miskin bisa keluar dari jurang kemiskinan.
Adanya beasiswa terhadap orang yang tidak mampu untuk melanjutkan study kejenjang yang lebih tinggi tidaklah cukup untuk menyamaratakan pendidikan. Karena yang diberi beasiswa adalah seorang anak yang memiliki kecerdasan mempuni. Bagaimana dengan seorang anak yang kecerdasannya minim. Jika hal itu masih saja dibiarkan maka anak tersebut akan semakin terkungkung dalam kebodohannya. Jangankan mau melanjutkan study, mendapatkan sekolah yang bagus saja sangat susah. Jika tidak memiliki kecukupan ekonomi, dapat dipastikan akan berada di sekolah pelosok atau swasta. Mau masuk universitas saja harus bayar ini dan itu. Akan tetapi, bagi seseorang yang mempunyai cukup banyak uang akan masuk universitas elite dan negeri, seperti UI, UGM, UNPAD, ITB, IPB, dan lain sebagainya. Seharusnya yang diperhatikan untuk masuk universitas elite tersebut ialah anak orang miskin, agar mengenyam pendidikan yang lebih baik, sehingga nantinya bisa bebas dari kungkungan kemiskinan.
Hal semacam diatas juga mengindikasikan bahwa pendidikan di indonesia masih belum merdeka. Dan pendidikan juga terasa dikotak-kotakkan. Sekolah A untuk anak pemerintah dan konglomerat, sekolah B untuk anak pegawai dan orang yang mempunyai tingkat penghasilan ekonmi menengah, sekolah C untuk anaknya orang miskin yang tak memiliki penghasilan ekonomi cukup besar. Itu juga menandakan bahwa oknum pemegang birokrasi dan pendidikan masih sangat lapar akan uang. Pendidikan dijadikan sebagai ladang untuk meraup penghasilan finansial, dan mengisi perut-perut ketamakan seseorang.

By, Moh. Nawafil. BEM-FT.

The Leader of F.A.K. (Forum Anti Kapitalis).

Constructing Of Progresif Education (Membangun Pendidikan Progresif)

Constructing Of Progresif Education
(Membangun Pendidikan Progresif)
Pendidikan adalah sebagai tolak ukur terhadap kelayakan, pertumbuhan, perkembangan, dan kemajuan suatu negara. Jika sebuah negara mempunyai masyarakat yang mayoritas berpendidikan tinggi, besar kemungkinan negara tersebut akan memeliki proteksi keamanan yang bagus, damai, toleran, serta sejahtera. Maka dari itu merupakan suatu kewajiban bagi setiap negara untuk menyelenggarakan pendidikan terhadap masyarakatntya. Jauh sebelumnya Plato telah mengemukakan betapa pentingnya sebuah pendidikan dan sangatlah perlu, baik dirinya selaku individu maupun sebagai warga negara. Dan negara wajib memberikan pendidikan terhadap warga negaranya. Mengindikasikan bahwa begitu besar pentingnya pendidikan bagi manusia atau civil society sehingga plato mengemukakan akan wajibnya suatu negara untuk merealisasikan pendidikan dalam bentuk real serta terprogram dengan baik. Karena melalui pendidikan seseorang bisa mengetahui dan membedakan antara yang benar dan yang tidak benar. Melalui pendidikan pula orang-orang akan mengenal apa yang baik dan apa yang jahat, apa yang patut dan apa yang tidak patut.[1]
Secara bahasa pendidikan berasal dari bahasa Yunani, paedagogy, yang mengandung makna seorang anak yang pergi dan pulang sekolah diantar oleh seorang pelayan. Pelayan yang mengantar dan menjemput dinamakan paedagogos. Dalam bahasa romawi pendidikan diistilahkan sebagai educate yang berarti mengeluarkan sesuatu yang berada di dalam. Dalam bahasa inggris pendidikan diistilahkan to educate yang berarti memperbaiki moral dan melatih intelektual.[2]
Menurut JJ Rousseau pendidikan adalah pemberian pembekalan yang tidak ada pada masa kanak-kanak akan tetapi diperlukan pada masa dewasa. Pembekalan tersebut berisi sebuah keterampilan dan pengetahuan yang urgen sehingga memiliki multi manfaat yang sangat besar untuk persiapan berinteraksi dengan masyarakat yang kompleks. John Dewey juga mengemukakan bahwa pendidikan adalah penanaman keterampilan yang fundamental dan berkenaan dengan rasa ataupun pikiran. John Dewey memberi sebuah penafsiran terhadap rasa yaitu suatu bentuk pengaplikasian emotional diri seseorang, sedangkan pikiran adalah wujud dari sebuah intelegensi. Dalam hal ini Al-Syaebani juga menjelaskan bahwa pendidikan merupakan usaha untuk merubah tingkah laku individu keranah yang lebih baik. Sedangkan menurut Kihajar Dewantara pendidikan adalah tuntunan didalam hidup kembang dan tumbuhnya anak-anak. Artinya pendidikan merupakan tuntunan segala kekuatan terhadap anak-anak yang nantinya ketika menjadi anggota masyarakat dapat mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya.[3]
Esensi dari pendidikan adalah tidak pernah stagnan, pendidikan selalu berubah dan bergerak secara dinamis seiring berkembangnya zaman. Karena itu para pakar pendidikan selalu bereksperimen dan menganalisis tentang metode atau cara yang tepat untuk pendidikan yang sesuai dengan kondisi zamannya. Salah satu caranya dengan mengkonstruksi pendidikan progresif. Melalui ini, diharapkan bisa memberantas distingsi-distingsi yang buruk terhadap pendidikan. Asumsi relatifnya ialah terdapat pernyataan bahwa pendidikan hanyalah sebagai ladang untuk menanam bisnis mega proyek lalu menghasilkan product pengangguran. Banyak sekolah yang telah dianggap sebagai pasar, bukan lagi tempat transfer  of knowledge (pemindahan pengetahuan) atau transfer of value (pemindahan nilai).[4]
Dengan hadirnya progresif education diharapkan bisa membantah terkait dengan distingsi-distingsi buruk terhadap pendidikan serta dapat membuktikan secara ilmiah bahwa pendidikan bukanlah sebagai problem place (tempat masalah) akan tetapi problem solving (pemecahan masalah). Secara garis besar pendidikan progresif adalah proses usaha untuk menjadikan anak didik yang memiliki kualitas dan progress (terus maju) sebagai generasi yang akan menjawab tantangan peradaban baru, yang berfokus terhadap demokrasi pendidikan, kurikulum yang baik dan Ideal school.
Arti dari demokrasi pendidikan yang diterapkan dalam pendidikan progresif  yaitu memberi kebebasan, baik secara fisik maupun cara berfikir, guna membangun bakat yang terpendam dalam dirinya tanpa terhambat oleh rintangan orang lain. maka dari itu pendidikan progresif sangatlah tidak setuju terhadap pendidikan otoriter. Sebab pendidikan otoriter hanya akan mematikan tunas-tunas para pelajar untuk hidup sebagai pribadi yang gembira dalam belajar dan mematikan daya kreasi baik secara fisik maupun psikis anak. Sebagaimana yang dikutip Waty Soemanto dalam psikologi pendidikan : landasan pemimpin pendidikan, John Dewey ingin mengubah hambatan dalam demokrasi pendidikan dengan jalan ; 1) memberi kesempatan murid untuk belajar perorangan. 2) memberi kesempatan murid untuk belajar melalui pengalaman. 3) memberi motivasi bukan perintah.
Tidak hanya sebatas demokrasi pendidikan, kurikulum yang baikpun juga penting. Dalam hal ini ialah kurikulum yang berpusat pada pengalaman yang telah diperoleh anak didik selama disekolah dan dapat diterapkan dalam bentuk kehidupan nyata. Dngan mengimplementasikan metode pendidikan learning by doing (belajar sambil melakukan) dan problem solving (pemecahan masalah).
Adapun sekolah yang ideal adalah sekolah yang isi pendidikannya berintegrasi dengan lingkungan sekitar. Sekolah harus dapat mengupayakan pelestarian karakteristik atau kekhasan lingkungan sekolah sekitar. John Dewey memandang bahwa pendidikan sebagai proses dan sosialisasi. Oleh karena itu dinding pemisah antara sekolah dan masyarakat perlu dihapuskan sebab belajar yang baik tidak hanya di sekolah saja. JJ Rouseu juga berpendapat bahwa anak didik harus dididik sesuai dengan alamnya.[5]
Jika kesemuanya dapat terealisasika dalam wujud real, tentunya akan cepat membentuk anak didik yang memiliki spiritual keagamaan, pengendalian diri, kecerdasan, dan akhlaq mulia sesuai dengan yang dicita-citakan  dalam UU Nomor 20 tahun 2003.







[1] Ahmad, D.M. 1974. Pengantar Filsafat Pendidikan Islam. Bandung: PT. Al-Ma’arif. Hal 12.
[2] Suwarno, Wiji. 2006. Dasar-Dasar Ilmu Pendidikan. Yogyakarta: Ar-Ruzz. Hal 25.
[3] Abdul Kadir. 2012. Dasar-Dasar Pendidikan. Jakarta: Kencana Prenadamedia Group. Hal 61.
[4] Edi Subkhan. 2016. Pendidikan Kritis. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media. Hal 36.
[5] Jalaluddin, Idi. 2011. Filsafat Pendidikan. Jakarta: Rajawali Pers. Hal 87.

NEGARA TELAH MERDEKA, PENDIDIKAN MASIH JAUH DARI KATA MERDEKA.

NEGARA TELAH MERDEKA, PENDIDIKAN MASIH JAUH DARI KATA MERDEKA. Ditinjau dari segi bahasa, pendidikan berasal dari kata Yunani yaitu pae...